Kemenangan tuntutan ganti rugi atas kejahatan kekerasan terhadap Buruh Migran
![]() |
Pengadilan Hong Kong tanggal 22 Desember 2017 mengabulkan tuntutan Erwiana sebesar 809.430 dolar Hong Kong (Rp1,4 miliar) atas penganiyaan yang dilakukan bekas majikannya dengan hakim menyebut perlakukan itu "tak manusiawi, mengerikan, dan merendahkan martabat."
Erwiana yang saat ini masih menjalani konseling akibat trauma penyiksaan selama enam bulan mengatakan akan menggunakan dana ini untuk melanjutkan sekolah, pengobatan serta membantu banyak buruh migran lain yang mengalami nasib yang sama namun belum berani bersuara, ketika ditindas.
Erwiana yang saat ini masih menjalani konseling akibat trauma penyiksaan selama enam bulan mengatakan akan menggunakan dana ini untuk melanjutkan sekolah, pengobatan serta membantu banyak buruh migran lain yang mengalami nasib yang sama namun belum berani bersuara, ketika ditindas.
Dalam kasus kriminal, pengadilan Hong Kong menjatuhkan hukuman enam tahun penjara dan denda senilai 15.000 dolar Hong Kong atau Rp24 juta, terhadap bekas majikan Erwiana, Law Wan-tung pada Februari 2015.
"Saya ingin menularkan semangat saya, selain itu saya janji untuk membantu mereka yang mengalami nasib seperti saya, dianiaya," kata Erwiana.
Dari sekitar 300 kasus penganiayaan fisik dan seksual di Hong Kong setiap tahun, 50% di antaranya menimpa tenaga kerja Indonesia, kata Cynthia Abdon-Tellez dari Mission for Migrant Workers, organisasi di Hong Kong yang memberikan advokasi untuk para pekerja asing seperti yang dikutip di www.bbc.com.
"Kasus penganiayaan ini sangat serius... kasus ini penting karena banyak pekerja yang tidak memiliki peluang untuk mengangkat kasus penganiayaan... dan ini jumlah tuntutan terbesar yang dimenangkan," kata Cyntia mengacu pada kemenangan tuntutan ganti rugi Erwiana terhadap majikannya.
Foto Erwiana dalam keadaan luka parah, kurus dan berada dalam kondisi krisis di rumah sakit Indonesia pada Januari 2014 menjadi perhatian kalangan internasional, terutama masalah hak PRT di Hong Kong.
"Ketika dipukulin, sangat tidak manusiawi," cerita Erwina tentang hal yang membuatnya trauma sampai sekarang.
"Yang paling menjijikkan, aku dimandikan dan dikasih kipas angin sampe berjam-jam, ditelanjangi sama dia. Tak boleh ke kamar mandi, harus kencing di plastik, harus berak di plastik, karena dia tak mau rumahnya kotor," kata Erwina.
"Cacat seumur hidup, ada luka gak bisa sembuh. Tulang belakang bengkok, kata dokter kalau hamil akan merasa berat bebannya untuk menyangga karena tak bisa bawa barang berat. Hidung mampet kalau batuk, karena patah tulang saat ditonjok. Mata juga (mengalami) gangguan," tambahnya.
Perlakuan kejam majikan di Hong Kong lainnya yang terungkap atas Buruh Migran Indonesia (BMI) juga menimpa Kartika Puspitasari pada tahun 2013.
Majikan Kartika, Tai Chi-wai, dan istrinya Catherine Au Yuk-shan diganjar penjara masing-masing tiga tahun tiga bulan dan lima setengah tahun karena menyiksa Kartika dengan "rantai sepeda, besi panas" dan juga mengikatnya selama lima hari dengan popok di kursi saat keluarga itu liburan. Kejahatan itu dilakukan antara Oktober 2010 hingga Oktober 2012.
KOBUMI mengatakan masih banyak Buruh Migran dari banyak negara di Hong Kong yang mengalami hal serupa namun belum berani bersuara.
"Masih banyak yang belum ikut berorganisasi, belum belajar banyak tentang haknya dan ketika ada masalah masih takut. Di Hong Kong pun ada, apa lagi di tempat lain, di Singapura, Malaysia, yang sangat tertutup dan pekerja tak boleh ikut berorgansisasi berdemo, apalagi di Arab, sangat mengerikan," kata Iis, koordinator advokasi Kobumi.
Umi Sudarto, Koordinator Kobumi Hong Kong menyimpulkan bahwa kondisi yang dialami para buruh migran terkait penganiayaan fisik terus terjadi di Hong Kong. Semua Buruh Migran di Hong Kong rentan karena semua negara pengirim tidak memberikan pendidikan hak buruh.
"Mereka hanya belajar bahasa, mempelajari alat-alat rumah tangga selama berada di tempat pendidikan. Secara tersembunyi pihak perusahaan penyalur menerapkan kurikulum tersembunyi yang bertujuan membuat buruh Migran menjadi patuh kepada majikan."
"Buruh Migran menjadi manusia bisu dan tak mengatakan apapun tentang masalah yang dihadapi dan ini atas perintah Agen. Mereka harus menurut sebanyak mungkin ke majikan. Bagaimana kalau ilegal, ya diminta untuk ikuti saja kalau tidak Buruh Migran akan dipecat kehilangan pekerjaan. Buruh Migran terus dikondisikan pada modus kejahatan "Jebakan Utang," jelas Umi.
Ia mengatakan modus Jebakan Utang kepada agen merupakan ancaman kejahatan Perdagangan Manusia yang paling banyak digunakan kepada para Buruh Migran di Hong Kong bahkan dengan ancaman masuk penjara.
Buruh Migran harus membayar biaya menjadi buruh sebagai Utang dengan mencicil utang selama tujuh sampai sembilan bulan. Selama bulan-bulan itu, buruh migran merasa upahnya dirampas dan tidak bisa mengirim uang ke kampung. Sebuah mukjijat jika ada majikan yang berbaik hati memberikan upah tambahan untuk dikirim ke keluarga.
Perbudakan modern jelas terjadi karena hukum yang ada di Hong Kong terus membiarkan terjadinya perlakuan diskriminasi terhadap PRT Migran. Semua Buruh Migran di Hong Kong dipaksa tinggal serumah dan jam kerja yang sangat panjang tanpa diatur dalam kontrak kerja. Begitu juga hak-hak normatif tidak dicantumkan dalam Perjanjian Kerja yang menjadi penyebab banyaknya tindak kejahatan dialami Buruh Migran.
Saat ini Indonesia belum memperioritaskan soal pendidikan hak sebagai buruh dalam persiapan pengiriman buruh murah ke luar negeri. Bahkan terkesan lewat kebijakan "Satu Pintu" rejim penguasa Indonesia berusaha mengirimkan buruh murah lebih massif ke luar negeri. Tujuannya jelas agar remitten bisa lebih besar lagi sehingga bisa dipakai untuk mencicil utang biaya pembangunan.
"Bahkan biaya perlindungan BMI sangat kecil bila dibanding dengan biaya pertemuan atau rapat-rapat Kementerian Tenaga Kerja. Jokowi sempat "marah" terkait hal ini tapi tak berani memecat Menterinya.
COMMENTS