Perbudakan, Perbudakan Modern
INDONESIA, KOBUMI - Diperkirakan 49,6 juta orang di dunia bekerja secara paksa dalam kubangan perbudakan modern, seperempatnya adalah anak-anak. Disisi lain, deklarasi penghapusan perbudakan telah lama dideklarasikan untuk dihapus dan diadopsi hampir semua negara tapi hanya dua negara di dunia memiliki ketentuan pidana untuk segala bentuk perbudakan.
Perbudakan modern adalah kondisi di mana seseorang memperlakukan orang lain sebagai properti miliknya. Akibatnya, kemerdekaan orang tersebut terampas dan kemudian dieksploitasi demi kepentingan individu atau komersil. Praktik perbudakan diketahui sudah ada sejak ratusan hingga ribuan tahun yang lalu. Nyatanya, hingga kini tindakan yang tidak manusiawi itu masih terus terjadi.
Secara umum, berikut enam bentuk praktik perbudakan modern, seperti dilansir dari Anti-slavery: 1. Perdagangan Manusia, 2. Kerja Paksa, 3. Kerja Terikat Utang, 4. Perbudakan Berbasis Keturunan, 5. Perbudakan Seksual dan 6. Perbudakan Anak-Anak.
Perbudakan modern ada di dalam rantai pasok berbagai barang dan jasa yang kita gunakan sehari-hari. ChatGPT, yang diperkirakan memiliki 13 juta pengguna harian, misalnya, dikembangkan dengan menggunakan kontraktor dari Kenya yang dibayar antara CA$1,32 (Rp 14.560) hingga CA$2 per jam.
Praktik ini juga ditemukan di rantai pasok fesyen mode cepat (fast fashion). Di industri ini, buruh kesulitan menemukan pekerjaan yang memberikan upah layak dan terjebak membanting tulang untuk pemberi kerja yang eksploitatif.
Sementara itu, sepertiga dari suplai kobalt global, material penting dalam produksi kendaraan listrik, berasal dari tambang-tambang kecil yang kerap diasosiasikan dengan situasi kerja yang berbahaya dan pelanggaran terhadap buruh/pekerja.
Sedangkan pada 2019, muncul laporan bahwa di Cina, anak-anak usia sekolah dipekerjakan semalaman di pabrik milik Foxconn, pemasok untuk Amazon, demi memenuhi target produksi gawai Alexa.
Hampir semua praktik perbudakan modern mengandung beberapa elemen kerja paksa. Organisasi Buruh Internasional (ILO) mencatat bahwa pekerja imigran paling rentan menjadi korban. Sebab, mereka terbatas dalam bahasa, sedikit relasi, memiliki hak terbatas, dan bergantung pada majikan.
Perdagangan manusia adalah proses menjebak orang melalui penggunaan kekerasan atau pemaksaan, penipuan, dan kemudian mengeksploitasi mereka untuk keuntungan finansial pribadi si pelaku. Perdagangan manusia dapat melalui berbagai bentuk, seperti budak seks, pengemis, pengedar narkoba, hingga jual-beli organ tubuh manusia.
Pekerja/buruh yang Terikat Utang terjebak dalam Perbudakan Modern diperkirakan ada 27,6
juta orang di seluruh dunia, pekerja terikat utang — yaitu ketika
seseorang dipaksa bekerja untuk melunasi utangnya — adalah jenis
perbudakan yang paling umum.
Kerja anak secara paksa, termasuk
perekrutan tentara anak yang melanggar hukum, memperbudak setidaknya 12,5
juta anak secara global.
Buruh/Pekerja anak merupakan isu yang kompleks
bagi banyak orang, mengingat banyak anak yang bekerja untuk perkebunan
bersama keluarganya. Namun, secara spesifik pekerja anak diidentifikasi sebagai
pekerjaan yang eksploitatif dan berbahaya atau merusak tumbuh kembang
anak.
Faktor pendorong utama dari pekerja anak berasal dari
kemiskinan ekstrem, yang membuat keluarga terpaksa melibatkan anaknya
bekerja untuk menambahi upah. Lemahnya intervensi negara dalam
menangani pekerja anak bisa dibilang memberi celah yang membuat praktik
ini terus berjalan.
Berikutnya, perdagangan seks ilegal,
didefinisikan sebagai sebagai aktivitas “yang melibatkan perekrutan,
pemindahan, atau menahan korban untuk tujuan eksploitasi seksual,”
memperbudak sekitar 6,3 juta orang.
Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC) melaporkan, 51 persen dari korban perdagangan manusia yang diidentifikasi adalah perempuan, 28 persen anak-anak, dan 21 persen adalah pria. Sementara 72 persen yang dieksploitasi dalam industri seks adalah yang berjenis kelamin perempuan.
Sementara itu, 3,2 juta orang
sisanya terperangkap perbudakan modern dalam bentuk kerja paksa dan
perbudakan rumah tangga. Perbudakan rumah tangga umumnya terjadi ketika
individu dipekerjakan untuk melakukan pekerjaan domestik, tanpa bisa
meninggalkan kediaman majikan, tempat ia bekerja karena
dokumen-dokumennya ditahan.
Ada indikasi kuat Indonesia masih mengamini praktik perbudakan modern. Rancangan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga yang sedianya melindungi hampir lima juta pekerja rumah tangga, mandek di DPR selama hampir dua dekade. Sementara pengadilan yang mengadili kasus-kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga kerap menjatuhkan sanksi ringan yang tidak sebanding dengan dampak permanen yang ditimbulkan pada pekerja.
Pertanyaannya, apa yang bisa dilakukan oleh perusahaan-perusahaan kapitalis itu, konsumen serta buruh itu sendiri untuk "berperang" melawan perbudakan modern dari rantai pasok kapitalis? Posisi negara sendiri dipertanyakan terkait upaya untuk melawan perbudakan modern yang masih terus terjadi bahkan terkesan melakukan pembiaran.
Penyebab Perbudakan Modern
Penyebab Perbudakan modern sangatlah rumit. Bahkan produk sesederhana boneka Barbie memiliki rantai pasok global yang menjangkau lebih dari 100 negara.
Biasanya, perusahaan pengerah tenaga kerja bahkan negara ikut melakukan outsourcing dan terlibat dalam subkontrak untuk mengelola permintaan rantai pasok tenaga kerja yang kompleks. Karena perusahaan induk atau oligarki berada jauh dari perusahaan pemasok buruh/pekerja, masalah transparansi mengenai kondisi kerja di pemasok kerap terjadi.
Rantai pasok yang kompleks adalah salah satu penyebab meningkatkannya risiko perbudakan modern. Penggunaan perekrut tenaga kerja atau pekerja subkontrak memungkinkan perbudakan muncul dan terus berkembang.
Sebagai tambahan, kerja paksa dan kerja terikat tidak mudah untuk dideteksi karena rumitnya rantai nilai modern. Contohnya, terdapat 6,3 juta penjual untuk produk Amazon, masing-masing dengan rantai pasoknya sendiri.
Sumber daya keuangan dan manusia yang besar diperlukan untuk mendeteksi perbudakan modern. Namun, kondisi pasar ketenagakerjaan global yang cenderung berjalan dengan politik upah murah menyebabkan tidak ada tindakan apapun yang dilakukan perusahaan perusahaan besar itu untuk menghentikan Perbudakan modern.
Peraturan Antiperbudakan
Beberapa negara memiliki aturan yang berupaya mencegah beberapa bentuk perbudakan. Namun, hanya 24 dari 193 negara anggota PBB memiliki pasal yang menyasar tiap-tiap bentuk eksploitasi. Selain itu, hanya lima negara yang memiliki ketentuan pidana yang mencakup lima instrumen internasional untuk menanggulangi eksploitasi manusia. Dan hanya dua negara di dunia memiliki ketentuan pidana untuk segala bentuk perbudakan.
Di Kanada, misalnya, pembacaan ketiga Bill S-211 — RUU transparansi rantai pasokan — baru-baru ini dilakukan di Majelis Rendah. Meski semua anggota sepakat bahwa perbudakan modern perlu diperangi, ada perdebatan tentang apa yang sebenarnya harus dimasukkan dalam undang-undang dan seberapa jauh undang-undang tersebut dapat berjalan.
Selaku regulasi mengenai transparansi, RUU S-211 tidak memiliki ketentuan pidana dan menempatkan tanggung jawab untuk memastikan tidak ada perbudakan dalam rantai pasok pada perusahaan. Nantinya, RUU tersebut akan menerapkan ini dengan mewajibkan perusahaan untuk melaporkan kebijakan dan kegiatan uji tuntas mereka.
Sayangnya, kewajiban pelaporan ini hanya berlaku bagi badan pemerintah dan perusahaan terbuka yang terdaftar di bursa efek Kanada yang berbisnis, memiliki unit bisnis atau memiliki aset di negara tersebut.
Jika ditemukan adanya praktik perbudakan, perusahaan wajib melaporkan bagaimana mereka berencana untuk memberantas praktik tersebut. Hanya perusahaan yang memenuhi paling tidak memenuhi dua dari kondisi ini yang wajib untuk melapor: memiliki aset sekurangnya CA$20 juta, menghasilkan pemasukan setidaknya CA$40 juta atau mempekerjakan minimal 250 karyawan.
Apa yang Bisa Dilakukan Perusahaan Besar?
Walaupun sulit dan tidak terlalu berharap, perusahaan-perusahaan besar itu dapat mengelola segala aktivitas yang terjadi di rantai pasok global mereka, ada praktik-praktik terbaik yang bisa mereka adopsi.
Pertama, perusahaan dapat membuat dan mengelola kontrak pemasok sedemikian rupa untuk memastikan bahwa pemasok mengakui dan menaati hukum ketenagakerjaan internasional dan aturan mengenai perbudakan modern.
Kedua, Perusahaan-perusahaan besar dapat bekerja sama dengan Perusahaan menengah dan kecil untuk meningkatkan kesadaran terhadap faktor risiko terkait perbudakan modern.
Beberapa faktor risiko tingkat tinggi mencakup industri padat karya (seperti pertanian, pertambangan, atau konstruksi); pekerjaan berbahaya atau menuntut fisik; pekerja sementara, musiman, atau agen dalam jumlah besar; dan beroperasi di negara-negara dengan undang-undang dan penegakan hukum ketenagakerjaan yang tidak memadai.
Tambahannya, Perusahaan-perusahaan besar itu dapat meminta perusahaan pemasok mereka untuk melaporkan program aksinya terkait pemberantasan perbudakan modern dalam rantai pasok mereka.
Gerakan Solidaritas Konsumen dan buruh untuk Korban Perbudakan Modern
Perusahaan adalah pihak yang memiliki tanggung jawab sekaligus peluang untuk menghapuskan perbudakan modern dari rantai pasok mereka. Namun, penelitian yang dilakukan baru-baru ini menunjukkan bahwa solidaritas konsumen dan buruh terhadap korban perbudakan modern merupakan salah satu cara untuk mereduksi perbudakan modern yang terjadi pada buruh/pekerja itu sendiri.
Memang, tekanan dari konsumen menjadi dorongan terbesar bagi perusahaan-perusahaan besar untuk melakukan penyelamatan korban perbudakan modern dalam rantai pasok kapitalis. Seperti yang telah dibuktikan di berbagai peristiwa yang terjadi baru-baru ini, pemberitaan negatif dari media merupakan kritik yang kuat terhadap perusahaan Besar untuk wajib mengambil tindakan memerangi Perbudakan modern.
Sebaliknya, sikap tidak peduli dari konsumen memungkinkan terus terjadinya perbudakan modern. Menghapuskan pembudakan modern membutuhkan aksi solidaritas dari konsumen dan buruh lainnya.
Bukankah ketika membicarakan perbudakan modern, kekuasaan sebenarnya berada di tangan poletariat?
Dirangkum dari berbagai sumber oleh Litbang KOBUMI
COMMENTS