Pengiriman Massal Buruh Migran secara Global
Buruh Migran asal Jawa Di Suriname, Foto: Istimewa |
Akhir abad 19, pemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan pengiriman budak atau Kuli ke Suriname (disebut juga Guyana Belanda), salah satu wilayah koloni mereka di Amerika Selatan yang berbatasan dengan Guyana Perancis dan Guyana. Kebijakan tersebut dikeluarkan karena budak yang berasal dari Afrika telah habis. Mereka dibebaskan pada 1863 sebagai komitmennya untuk menghapuskan perbudakan. Imbasnya, perekonomian Suriname menurun karena tidak ada yang menggarap perkebunan.
Di Hindia-Belanda, pemerintah kolonial menerapkan sistem Cultuurstelsel atau yang biasa dikenal dengan tanam paksa. Perlawanan rakyat di berbagai daerah menyebabkan Belanda harus menambah biaya operasional yang cukup besar. Van Den Bosch memulainya di tahun 1930. Sudah bisa ditebak, sejak kebijakan itu diterapkan, neraca saldo dalam negeri di Hindia-Belanda relatif stabil. Setelah itu, kata sejarawan M.E. Ricklefs, hutang VOC bahkan bisa segera dilunasi. Penulis buku “The History of Modern Indonesia” itu menambahkan, bahkan dana-dana itu juga bisa digunakan untuk membayar ganti rugi pada tuan-tuan yang budaknya dibebaskan di Suriname.
Tahun 1881, pemerintah Belanda mengeluarkan aturan yang berkaitan dengan perekrutan Kuli Kontrak dari lokal. Aturan ini biasa disebut Koeli Ordonantie. Didalamnya juga dimuat aturan mengenai pemidanaan atau Poenale Sanctie. Koeli Ordonantie kemudian direvisi tahun 1889. Hukuman diberikan kepada buruh apabila melanggar kontrak kerja. Hukuman diberikan kepada Kuli yang melarikan diri, menolak bekerja atau melanggar aturan. Hukuman yang diberikan adalah hukuman kurungan, denda atau kerja paksa melampaui jangka waktu perjanjian semula.
Sejak 1890 hingga 1939 buruh-buruh kontrak dari Jawa, Sunda, Madura dan Batak didatangkan ke Suriname untuk bekerja di perkebunan setempat. Gelombang pertama pengiriman buruh kontrak diberangkatkan dari Batavia pada 21 Mei 1890 dengan Kapal SS Koningin Emma. Pelayaran jarak jauh ini singgah di negeri Belanda dan tiba di Suriname pada 9 Agustus 1890. Jumlah Kuli atau Buruh konrak gelombang pertama sebanyak 94 orang terdiri 61 pria dewasa, 31 wanita, dan 2 anak-anak. Hingga 1939 mencapai 32.986 orang, dengan menggunakan 77 kapal laut. (BNP2TKI).
Rosemarijn Hoefte menulis cerita tentang mereka itu dalam “In Place of Slavery: A Social History of British Indian and Javanese Laborers in Suriname”. Di tempat perbudakan. Ya. Suriname bagi orang Jawa sejak tahun 1890 adalah bak neraka. Mereka dipaksa bekerja disana. Situasi lain mungkin dialami oleh orang Jawa sejak tahun 1940 yang secara sukarela datang ke Suriname untuk bekerja.
Kebanyakan mereka yang dikirim ke Suriname adalah penduduk Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur). Tetapi tak sedikit juga yang berasal dari Sunda. Iding Soemita, imigran dari Tasikmalaya malah memainkan peran yang sangat signifikan dalam kancah politik. Lahir tahun 1908, Iding tiba di Suriname tahun 1925. Iding aktif di Kaum Tani Persatuan Indonesia (KTPI). Tahun 1949 di distrik Commewijne Iding mendapat 2325 suara. Ia meraih salah satu dari dua kursi yang diperoleh KTPI. Cerita ini bisa dilihat dalam javanenindiaspora.nl sebuah situs yang mengumpulkan tuturan dari masyarakat Suriname asal Jawa.
Gelombang pertama pengiriman buruh migran diberangkatkan dari Batavia (Jakarta) pada 21 Mei 1890 dengan Kapal SS Koningin Emma. Pelayaran jarak jauh ini sempat singgah di negeri Belanda dan tiba di Suriname pada 9 Agustus 1890. Jumlah Buruh Migran dalam gelombang pertama sebanyak 94 orang terdiri atas 61 pria dewasa dan 31 perempuan, termasuk membawa dua anak-anak, yang dipekerjakan di perkebunan tebu dan pabrik gula Marienburg, Suriname. Hingga kini, tanggal kedatangan Buruh Migran pertama ke Suriname selalu dikenang serta diperingati sebagai momentum bersejarah oleh para penduduk Suriname yang berasal dari Jawa.
Selanjutnya, pengiriman buruh migran gelombang kedua sebanyak 582 orang tiba di Suriname tanggal 16 Juni 1894 dengan Kapal SS Voorwaarts. Karena muatan kapal kedua ini melebihi kapasitas, sebanyak 64 orang buruh migran meninggal dunia dan 85 orang harus dirawat di rumahsakit setibanya di pelabuhan Paramaribo, Suriname. Kejadian yang tragis ini bahkan tidak mendapat tanggapan cepat dari pemerintah Belanda, bahkan kejadian ini begitu saja dilupakan. Pemerintah Kerajaan Belanda boleh jadi beranggapan yang meninggal itu hanya para kuli atau budak yang miskin, sehingga tidak perlu ada tindakan apapun. Karena itu, pengiriman buruh atau kuli kontrak asal Indonesia terus berjalan dengan kurun waktu yang cukup lama sampai pengiriman terakhir sebanyak 990 orang yang tiba di Suriname pada 13 Desember 1939.
Dari tahun 1890-1914, rute pelayaran buruh migran ke Suriname selalu singgah di negeri Belanda dan paska tahun 1914 tidak lagi singgah di Belanda. Pengiriman Buruh Migran selama kurun waktu itu menggunakan 77 buah kapal laut, dilaksanakan oleh perusahaan pelayaran swasta, De Nederlandsche Handel Maatschappij. Tetapi mulai 1897, pengiriman buruh migran dilaksanakan sendiri oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada masa sekitar itu pula, para kuli kontrak yang ditempatkan pemerintah Belanda umumnya berasal Pulau Jawa dan Madura. Namun demikian tak sedikit dari suku Sunda dan Batak dikirim juga sebagai buruh kontrak di sejumlah perkebunan Suriname. Tujuan utamanya tak lain untuk mengganti tugas para budak asal Afrika yang mulai dibebaskan pada 1 Juli 1863, sebagai wujud dilaksanakannya penghapusan sistem politik perbudakan oleh beberapa negara kolonialis yang juga mengimbas ke Suriname, hingga membuat para budak tersebut beralih profesi karena bebas memilih lapangan kerja yang dikehendaki. Dampak adanya pembebasan itu membuat perkebunan di Suriname terlantar dan mengakibatkan perekonomian Suriname yang bergantung dari hasil perkebunan turun drastis.
Pemerintah Belanda memilih buruh migran asal Jawa ke Suriname dengan mempertimbangkan rendahnya tingkat perekonomian penduduk pribumi (Jawa) akibat meletusnya Gunung Merapi (1872) dan padatnya jumlah penduduk di Pulau Jawa. Alasan meletusnya Gunung Merapi itu memang diakui telah menyebabkan pemerintah Belanda banyak mengirim Buruh Migran asal Jawa Tengah ke Suriname.Sementara kelebihan penduduk Jawa yang menjadi alasan klise, kecuali terkait kemiskinan di wilayah Jawa selain adanya kepentingan pemilik perkebunan di Suriname yang kesulitan mendapatkan kuli atau buruh kontrak. Pemerintah Belanda mengambil pekerja baru ke Hindia Belanda dengan sistem razia dan dipaksa dikapalkan ke Suriname. Para pekerja paksa dari Indonesia ini mayoritas dari pulau Jawa tepatnya dari etnis Jawa dan Sunda, yang kebanyakan dari mereka adalah para petani buta aksara.
Sebelumnya, di Suriname sudah ada kuli atau buruh kontrak yang dipekerbudak untuk membuka perkebunan, yaitu orang-orang Creole asal Afrika Barat yang dibawa ke Suriname pada awal abad 16 sebagai budak belian. Kemudian datang kuli kontrak asal Tionghoa yang dibawa ke Suriname pada 1853 dan orang-orang Hindustan asal Calcuta, India yang tiba di Suriname pada 4 Juni 1873. Di kemudian hari, komunitas Creole yang tidak tahan bekerja sebagai budak belian banyak melarikan diri ke dalam hutan, sehingga mereka dikenali dengan istilah ”Creole Hutan” selain sebutan ”Creole Kota” untuk kelompok lainnya. Semula Creole Hutan ini juga disebut “Djoeka” tetapi sekarang mereka menamakan diri suku Marron dan jumlahnya menempati nomor urut ketiga setelah orang-orang Hindustan dan Creole yang bertahan dengan keturunan aslinya. Sedangkan penduduk asal Jawa di Suriname menempati urutan keempat dengan jumlah 71.879 orang dari 492.829 jiwa penduduk Suriname (2004).
Sampai tahun 1930 para buruh migran asal Jawa di Suriname bekerja hanya di perkebunan tebu, kakao (coklat), kopi, maupun pertambangan bauksit di bawah ”Poenale Sanctie”. Sesudah tahun itu mereka bekerja sebagai buruh merdeka, tetapi faktanya masih harus bekerja dengan syarat-syarat "Poenale Sanctie", yakni peraturan yang menetapkan bila Kuli Kontrak melarikan diri akan dicari serta ditangkap polisi untuk dikembalikan kepada mandor atau pengawasnya.
Di luar itu, para buruh migran laki-laki usia di atas 16 tahun yang bekerja di perusahaan perkebunan Suriname menerima gaji sebesar 60 sen sehari dan buruh migran perempuan yang berusia di atas 10 tahun sebesar 40 sen sehari. Berdasarkan perjanjian, para buruh migran ini juga harus bekerja sesuai kontrak selama lima tahun dan dengan ketentuan bekerja untuk enam hari dalam satu minggu. Setiap harinya, mereka bekerja dalam delapan jam di perkebunan atau 10 jam di pabrik. Setelah masa kontrak berakhir mereka lantas diberi hak untuk pulang kembali ke Indonesia atas biaya pemerintah Belanda.
Pada tahun 1970-an sebanyak 20.000-25.000 Jawa Suriname pergi ke Belanda. Mereka menetap terutama di sekitar kota-kota seperti Groningen, Amsterdam, Rotterdam dan Zoetermeer. Mereka terintegrasi dengan baik ke dalam masyarakat Belanda, tetapi tetap mempertahankan identitas Jawa melalui asosiasi dan pertemuan yang diselenggarakan secara teratur. Sebagian besar di antara mereka masih memiliki kerabat di Suriname dan mengirim paket dan uang, dan secara teratur mengunjungi suriname.
Masa Kemerdekaan dan Orde Baru
Pada 3 Juli 1947 menjadi tanggal bersejarah bagi lembaga Kementerian Perburuhan dalam era kemerdekaan Indonesia. Melalui Peraturan Pemerintah No 3/1947 dibentuk lembaga yang khusus mengurus masalah perburuhan di Indonesia dengan nama Kementerian Perburuhan dan mengangkat Soerarti Karma Trimurti sebagai Menteri Perburuhan untuk pertama kali. Akan tetapi, kisruh politik yang selalu mewarnai pemerintahan Orde Lama menyebabkan permasalahan uruh migran sudah dari dulu tidak mendapat perhatian khusus, bahkan boleh dikata tidak ada sama sekali, hingga berganti pemerintahan dari rejim Soekarno (Orde Lama) ke rejim Fasis Soeharto (Orde Baru).
Pada masa awal Orde Baru Kementerian Perburuhan diganti dengan Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi sampai berakhirnya Kabinet Pembangunan III (1983). Mulai Kabinet Pembangunan IV (1983-1988) lembaga ini berubah menjadi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, sementara Koperasi membentuk Kementeriannya sendiri.
Selanjutnya dapat pula dikatakan, pada masa kemerdekaan Indonesia hingga akhir 1960-an, penempatan BMI ke luar negeri belum melibatkan peran pemerintah, tetapi telah terjadi secara orang-perorang, berdasarkan hubungan agama dan ikatan kekerabatan, atau melalui pola tradisonal akibat adanya lintas batas antarnegara. Negara tujuan utamanya adalah Malaysia dan Arab Saudi.
Untuk Arab Saudi, para BMI pada umumnya dibawa oleh mereka yang mengurusi orang naik haji/umroh maupun oleh orang Indonesia yang sudah lama menetap di Arab Saudi. Dengan demikian, secara diam-diam sudah banyak perantauan asal Indonesia ke Timur Tengah khususnya Arab Saudi dengan tujuan selain bekerja juga bisa sekaligus menunaikan ibadah haji/umroh atau untuk keperluan menuntut ilmu.
Adapun warganegara Indonesia yang melancong ke Malaysia sebagian besar datang begitu saja tanpa membawa surat dokumen apa pun, karena memang sejak dahulu telah terjadi lintas batas tradisional antara dua negara tersebut. Hanya pada masa konfrontasi kedua negara di era Orde Lama (1962-1966) kegiatan pelintas batas asal Indonesia menurun, namun bukan berarti hilang sama sekali.
Penempatan BMI sebagai Kebijakan Resmi Rejim Kaki Tangan Pemodal
Pengiriman secara massal BMI yang didasarkan sebagai kebijakan resmi rejim fasis Soeharto dimulai pada 1970 dan dilaksanakan oleh Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi lewat Peraturan Pemerintah No 4/1970 tentang Program Antarkerja Antardaerah (AKAD) dan Antarkerja Antarnegara (AKAN). Sejak itu pula penempatan BMI ke luar negeri sudah melibatkan pihak swasta (Perusahaan Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia Swasta - PPTKIS) yang banyak didirikan oleh pengusaha keturunan Arab dan para pengusaha lainnya.
Munculnya PPTKIS pada era awal 1970-an itu tidak serta merta begitu saja. Pada saat itu di kawasan Timur Tengah terjadi masa keemasan minyak atau disebut booming minyak (oil boom). Dengan ditemukannya cadangan minyak dalam jumlah sangat besar dan dilakukan ekplorasi besar-besaran, yang menjadikan negara-negara Arab di Timur Tengah utamanya Arab Saudi mendadak kaya raya. Fenomena ini semakin memperbanyak lahirnya orang-orang kaya baru di Arab Saudi, sehingga membutuhkan pekerja atau buruh untuk mengisi lapangan kerja yang membludak. Booming minyak ini juga yang mendorong arus pengiriman BMI ke Arab Saudi. Peluang inilah yang kemudian diserahkan pengelolaannya oleh rejim pemalas kepada PPTKIS untuk mengirimkan secara massal Pekerja Rumah Tangga (PRT) ke para majikan di negeri-negeri kapitalis.
Sementara itu, program AKAN yang telah dibentuk ditangani oleh pejabat setingkat eselon III serta kepala seksi di tingkat eselon IV dan bertanggungjawab langsung kepada Direktorat Jenderal Pembinaan dan Penggunaan (Bina Guna). Program/Seksi AKAN membentuk Divisi atau Satuan Tugas Timur Tengah dan Satuan Tugas Asia Pasifik.
Untuk pelayanan penempatan BMI atau TKI ke luar negeri di daerah dalam kaitan pelaksanaan program AKAN dilaksanakan oleh Kantor Wilayah Depnakertranskop tingkat provinsi dan Kantor Depnakertranskop Tingkat II kabupaten. Kegiatan yang dinaungi oleh Dirjen Bina Guna ini berlangsung hingga tahun 1986.
Selanjutnya pada tahun 1986 terjadi penggabungan dua Direktorat Jenderal yaitu Direktorat Jenderal Bina Guna dan Direktorat Jenderal Pembinaan dan Perlindungan (Bina Lindung) menjadi Direktorat Jenderal Pembinaan dan Penempatan (Binapenta).
Pada 1986 ini Seksi AKAN berubah menjadi "Pusat AKAN" yang berada di bawah Sekretariat Jenderal Depnakertrans. Pusat AKAN dipimpin oleh pejabat setingkat eselon II dan bertugas melaksanakan penempatan BMI ke luar negeri. Di daerah-daerah pada tingkat provinsi atau Kanwil, kegiatan penempatan BMI dilaksanakan oleh "Balai AKAN."
Pada 1994 Pusat AKAN dibubarkan dan fungsinya diganti Direktorat Ekspor Jasa TKI (eselon II) di bawah Direktorat Jenderal Binapenta. Namun pada 1999 Direktorat Ekspor Jasa TKI diubah menjadi Direktorat Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri (PTKLN).
Dalam upaya meningkatan kualitas penempatan dan keamanan perlindungan BMI telah dibentuk pula Badan Koordinasi Penempatan TKI (BKPTKI) pada 16 April 1999 melalui Keppres No 29/1999 yang keanggotannya terdiri sembilan instansi terkait lintas sektoral pelayanan BMI/TKI di tingkat pemerintah pusat. Badan ini sejak awal memang dirancang untuk meningkatkan program pengiriman massal BMI ke luar negeri sesuai lingkup tugas masing-masing. Badan ini juga tidak efektif dan akhirnya tidak terdengar keberadaannya.
Tahun 2001, Direktorat Jenderal Binapenta dibubarkan dengan menciptakan dua direktorat jenderal pengganti yaitu Direktorat Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri (P2TKDN) dan Direktorat Jenderal Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri (PPTKLN) sekaligus membubarkan Direktorat PTKLN.
Direktorat Jenderal PPTKLN membentuk struktur Direktorat Sosialisasi dan Penempatan untuk pelayanan penempatan BMI/TKI ke luar negeri. Sejak kehadiran Direktorat Jenderal PPTKLN, pelayanan pengiriman massal Buruh Migran di tingkat provinsi/kanwil dijalankan oleh BP2TKI (Balai Pelayanan dan Penempatan TKI).
Pada 2004 lahir Undang-undang No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, yang pada pasal 94 ayat (1) dan (2) UU ini juga membunyikan pembentukan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Setelah 2 tahun, rejim penguasa Indonesia baru kemudian mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 81/2006 tentang Pembentukan BNP2TKI yang struktur operasional kerjanya melibatkan unsur-unsur instansi pemerintah pusat terkait pelayanan buruh migran, antara lain Kemenlu, Kemenhub, Kemenakertrans, Kemendagri, Kemensos, Kemendiknas, Kemenkes, Imigrasi (Kemenhukam), Sesneg, serta Kepolisian.
Tahun 2006, barulah rejim borjuasi di Indonesia mulai melaksanakan pengiriman massal buruh migran ke Korea Selatan dengan program Government to Government (G to G) atau antarpemerintah melalui Direktorat Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri (PPTKLN) di bawah Direktorat Jenderal PPTKLN Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Departenakertrans).
Karena kepentingan bagi-bagi kekuasaan, paska Pemilu Rejim borjuasi di Indonesia juga menerbitkan Keppres No 02/2007 tertanggal 11 Januari 2007 tentang penetapan Kepala BNP2TKI, yang kewenangannya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden.
Dengan kehadiran BNP2TKI ini justru yang terjadi adalah tumpang tindih kewenangan dengan Kementerian Tenaga kerja (Kemenaker) karena urusan kegiatan penempatan dan perlindungan BMI juga menjadi otoritas BNP2TKI. Akibat kehadiran BNP2TKI pula, keberadaan Direktorat Jenderal PPTKLN otomatis bubar berikut Direktorat PPTKLN karena fungsinya telah beralih ke BNP2TKI. Dalam menjalankan tugasnya BNP2TKI juga membentuk keberadaan unit Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) di berbagai daerah utamanya di kota provinsi, selain Pos Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (P4TKI) di daerah kabupaten/kota tertentu, yang keduanya bersifat struktural dengan kelembagaan BNP2TKI.
Selanjutnya Program pengiriman massal BMI G to G semakin digencarkan ke banyak negara yang membutuhkan buruh murah untuk memenuhi pasar buruh yang fleksibel. Sekenario kapitalis global ini terus dipaksakan untuk wajib dilaksanakan oleh negara-negara miskin di dunia. Akibatnya, sisi perlindungan sangat diabaikan dan menyebabkan terjaganya pasar buruh murah bahkan menimbulkan kejahatan perdagangan manusia yang terus meningkat.
COMMENTS