/* Youtube Responsive */ .videoyoutube{text-align:center;margin:auto;width:100%;} .video-responsive{position:relative;padding-bottom:56.25%;height:0;overflow:hidden;} .video-responsive iframe{position:absolute;top:0;left:0;width:100%;height:100%;border:0} /* CSS Only */ .post-body iframe{width:100%!important;} @media screen and (max-width:960px){ .post-body iframe{max-height:90%}} @media screen and (max-width:768px){ .post-body iframe{max-height:75%}} @media screen and (max-width:600px){ .post-body iframe{max-height:60%}} @media screen and (max-width:480px){ .post-body iframe{height:auto!important;max-height:auto!important}} .youtube-box,.youtube-frame { display:block; width:420px; height:315px; background-color:black; background-size:100%; position:relative; border:none; margin:0 auto 15px; } .youtube-box span { display:block; position:absolute; top:0; right:0; bottom:0; left:0; } .youtube-box .youtube-title { background-color:rgba(0,0,0,0.4); font:bold 15px Verdana,Arial,Sans-Serif; color:white; text-shadow:0 1px 2px black; bottom:auto; line-height:30px; height:30px; overflow:hidden; padding:0 15px; } .youtube-box .youtube-bar { background:black url('http://4.bp.blogspot.com/-7keKvgPlMUA/T7vJpi3X_YI/AAAAAAAACtw/4OUd7uHadDk/s1600/yt-bar-center.png') repeat-x top; height:35px; top:auto; } .youtube-box .youtube-bar .yt-bar-left { background:transparent url('http://4.bp.blogspot.com/-WL_y2cwe57k/T7xHS3C8tTI/AAAAAAAACug/xIqhenfa-4o/s1600/yt-bar-left.png') no-repeat top left; z-index:4; cursor:pointer; } .youtube-box .youtube-bar .yt-bar-right { background:transparent url('http://1.bp.blogspot.com/-DCNevn4jQx0/T7vJt3X3pjI/AAAAAAAACuA/uIKxoT3685M/s1600/yt-bar-right.png') no-repeat top right; } .youtube-box .youtube-play { cursor:pointer; width:83px; height:56px; top:50%; left:50%; margin:-28px 0 0 -42px; background:transparent url('http://1.bp.blogspot.com/-JVqaIffy7Ws/T7vK4-ya81I/AAAAAAAACuI/UCL8Y7G4DqE/s1600/yt-play.png') no-repeat top left; } .youtube-box .youtube-play:hover { background-position:bottom left; } .youtube-box,.youtube-frame { display:block; width:420px; height:315px; background-color:black; background-size:100%; position:relative; border:none; margin:0 auto 15px; } .youtube-box span { display:block; position:absolute; top:0; right:0; bottom:0; left:0; } .youtube-box .youtube-title { background-color:rgba(0,0,0,0.4); font:bold 15px Verdana,Arial,Sans-Serif; color:white; text-shadow:0 1px 2px black; bottom:auto; line-height:30px; height:30px; overflow:hidden; padding:0 15px; } .youtube-box .youtube-bar { background:black url('http://4.bp.blogspot.com/-7keKvgPlMUA/T7vJpi3X_YI/AAAAAAAACtw/4OUd7uHadDk/s1600/yt-bar-center.png') repeat-x top; height:35px; top:auto; } .youtube-box .youtube-bar .yt-bar-left { background:transparent url('http://4.bp.blogspot.com/-WL_y2cwe57k/T7xHS3C8tTI/AAAAAAAACug/xIqhenfa-4o/s1600/yt-bar-left.png') no-repeat top left; z-index:4; cursor:pointer; } .youtube-box .youtube-bar .yt-bar-right { background:transparent url('http://1.bp.blogspot.com/-DCNevn4jQx0/T7vJt3X3pjI/AAAAAAAACuA/uIKxoT3685M/s1600/yt-bar-right.png') no-repeat top right; } .youtube-box .youtube-play { cursor:pointer; width:83px; height:56px; top:50%; left:50%; margin:-28px 0 0 -42px; background:transparent url('http://1.bp.blogspot.com/-JVqaIffy7Ws/T7vK4-ya81I/AAAAAAAACuI/UCL8Y7G4DqE/s1600/yt-play.png') no-repeat top left; } .youtube-box .youtube-play:hover { background-position:bottom left; } /*fb-like-box responsive*/ .fb-like-box{width: 100% !important;} .fb-like-box iframe[style]{width: 100% !important;} .fb-like-box span{width: 100% !important;} .fb-like-box iframe span[style]{width: 100% !important;}

Hari PRT Internasional Sudah Diperingati Sejak 16 Juni 2011

Sejarah hari PRT Internasional

Sejarah hari PRT Internasional

KOBUMI - Setiap 16 Juni, ribuan PRT dan aktivis buruh diseluruh Dunia memperingati Hari Pekerja Rumah Tangga Internasional ‘International Domestic Work Day’. Hari tersebut merupakan puncak perjuangan panjang para PRT dari seluruh Dunia yang menuntut pengakuan dan hak-hak sebagai Pekerja sesuai standar Internasional. 


Pada Konferensi Ketenagakerjaan yang ke-100 di Jenewa, tepatnya 16 Juni 2011, puluhan PRT yang mewakili jutaan PRT diseluruh Dunia bersorak di tribun ruang konferensi saat didaposinya Konvensi ILO No. 189 tentang Kerja Layak bagi pekerja Rumah oleh 183 Negara Anggota ILO yang diwakili masing-masing oleh Pemerintah, Pengusaha dan Serikat pekerja/Buruh. Lahirnya konvensi 189 tersebut dilatarbelakangi oleh kondisi kerja dari 52,6 juta PRT di seluruh Dunia yang tidak mendapatkan pengakuan dan hak-hak dasar sebagai pekerja.


Konvensi mengenai Pekerja Rumah Tangga (2011) diadopsi melalui pemungutan suara dengan perbandingan 396 setuju, 16 menolak dan 63 tidak memilih, sementara Rekomendasi meraih 434 setuju, 8 menolak dan 42 tidak memilih. ILO merupakan satu-satunya badan PBB yang bersifat tripartit, dan masing-masing 183 negara anggotanya diwakili dua delegasi pemerintah, satu pengusaha dan satu pekerja dan masing-masing memiliki kebebasan untuk memilih.



Dua standar tersebut akan menjadi Konvensi ke-189 dan Rekomendasi ke- 201 yang diadopsi Organisasi ini sejak didirikan pada 1919. Konvensi merupakan perjanjian internasional yang mengikat negara-negara anggota yang meratifikasinya, sementara Rekomendasi memberikan panduan yang lebih rinci mengenai bagaimana menerapkan Konvensi tersebut.

Standar-standar ILO yang baru ini menetapkan bahwa pekerja rumah tangga di seluruh dunia yang bekerja dalam rumah tangga harus memiliki hak kerja mendasar yang sama dengan pekerja lainnya: jam kerja yang pantas, libur sedikitnya satu hari dalam seminggu, batasan dalam gaji, informasi yang jelas mengenai hak dan kewajiban kerja serta menerapkan prinsip-prinsip dan hak-hak mendasar di tempat kerja seperti kebebasan berserikat dan hak untuk melakukan perundingan bersama.


Perkiraan ILO baru-baru ini berdasarkan survei dan/atau konsensus nasional 117 negara menempatkan jumlah pekerja rumah tangga mencapai sedikitnya 53 juta, namun para pakar mengatakan jumlah tersebut dapat mencapai 100 juta di dunia, mengingat jenis pekerjaan ini acapkali tersembunyi dan tidak terdata. Di negara-negara berkembang, mereka mencapai 4 hingga 12 persen dari upah kerja. Sekitar 83 persen dari mereka adalah perempuan atau remaja putri serta kebanyakan merupakan pekerja migran.


Konvensi ini mendefinisikan pekerja rumah tangga sebagai pekerja yang dilakukan did an untuk satu rumah tangga atau lebih. Kendati perangkat-perangkat baru ini mencakup seluruh pekerja rumah tangga di dunia, perangkat-perangkat ini meliputi perangkat khusus yang melindungi para pekerja, yang karena kemudaan usia atau kebangsaan atau status tinggal bersama dalam satu rumah, menadi lebih rentan terhadap kemungkinan risiko-risiko tambahan dibandingkan rekan kerjanya.


Menurut laporan ILO, Konvensi baru ini baru akan berlaku apabila dua negara telah meratifikasinya. Konvensi ILO 189 dan Rekomendasi 201 ini ditujukan untuk meningkatkan kondisi kerja dan kehidupan yang layak bagi puluhan juta PRT di seluruh duni. Saat ini, masih banyak masyarakat yang menganggap pekerjaan rumah tangga bukan sebagai pekerjaan dan sering mempekerjakan PRT tanpa aturan atau bahkan menganggap tidak perlu ada aturan yang melindungi PRT.


Konvensi ILO 189 dan Rekomendasi 201 ini merupakan suatu pengakuan terhadap kontribusi PRT atas nilai ekonomi dan sosial. Konvensi juga merupakan standar baru perlindungan sosial yang wajib diterapkan oleh semua negara untuk mengatasi diskriminasi dan kekerasan yang dialami PRT. Konvensi juga merupakan standar baru untuk melakukan langkah penting guna memajukan kesetaraan gender di dunia kerja dan menjamin hak-hak perempuan yang setara dan perlindungan hukum.


Indonesia wajib meratifikasi atau menjadikan Konvesi ILO 189 dan Rekomendasi 201 sebagai bagian dari hukum nasional tentang ketenagakerjaan. Saat ini, Indonesia mempunyai 8 juta penduduk yang bekerja sebagai PRT migran (bekerja di luar negeri) dan 10 juta penduduk yang bekerja sebagai PRT domestik (bekerja di dalam negeri). Hampir semua PRT bekerja rentan untuk dihisap tenaganya semena-mena karena tidak dilindungi aturan hukum yang adil. 


Konvensi ILO 189 adalah kesepakatan internasional yang melindungi PRT dari kejahatan dalam perselisihan perburuhan. Konvensi ini membatasi usia minimum PRT, standar dan mekanisme upah, perjanjian kerja tertulis, batasan jam kerja, dan jaminan sosial. Salah satu poin dari Konvensi ILO 189 yang penting adalah batasan jam kerja dan waktu istirahat bagi PRT. Lebih lengkapnya standar kelayakan kerja dalam Konvensi ILO 189 adalah sebagai berikut:

  1. Perjanjian Kerja secara tertulis.
  2. Perlindungan atas upah
  3. Batasan jam kerja 40 jam/minggu, 8 jam/hari untuk 5 hari kerja/minggu atau 7 jam/hari untuk 6 hari kerja/minggu.
  4. Istirahat harian jeda antar jam kerja minimal 1 jam.
  5. Libur/istirahat mingguan sekurang-kurangnya 24 jam berturut-turut/minggu.
  6. Cuti tahunan sekurang-kurangnya 12 hari/tahun.
  7. Cuti haid sekurang-kurangnya 2 hari.
  8. Cuti kehamilan dan kelahiran 6 bulan.
  9. Tunjangan Hari Raya sebesar 1 bulan gaji.
  10. Pemberlakuan upah lembur.
  11. Uraian kerja yang jelas sesuai dengan jam kerja.
  12. Jaminan sosial untuk semua PRT dan keluarganya.
  13. Fasilitas akomodasi kamar yang sehat dan aman.
  14. Akomodasi makan yang sehat.
  15. Perlindungan Keselematan dan Kesehatan Kerja (K3).
  16. Berhak memegang dan menyimpan dokumen pribadi.
  17. Pendidikan dan pelatihan yang gratis, ilmiah, setara dan demokratis untuk peningkatan kapasitas PRT.
  18. Penyelesaian perselisihan perburuhan secara adil dalam perlindungan hukum. 
  19. Kebebasan memilih untuk tinggal diluar rumah majikan.
  20. Batasan umur minimal 14 tahun untuk PRT Anak.
  21. Kebebasan berkomunikasi dan berorganisasi.
  22. Pemenuhan hak-hak PRT lainnya dalam kesepakatan kerja

Tambahan informasi penting terkait situasi kerja yang membuat PRT terjebak dalam kondisi "Jam Siaga" yakni waktu dimana PRT tidak bebas menggunakan waktu mereka dan diminta sewaktu-waktu merespon panggilan untuk bekerja. Dan dalam Konvensi ILO 189, jam siaga ini dihitung sebagai bagian jam kerja. Adapun untuk ekstra jam kerja atau lembur di mana PRT dipekerjakan melebihi jam kerja, maka PRT berhak atas upah lembur.


PRT sama dengan profesi pekerjaan lainnya yang juga membantu perekonomian bangsa, namun mereka masih terus diabaikan dan tidak diakui keberadaanya. Tidak hanya pemerintah tapi masyarakat juga sering mengabaikan PRT. Kesadaran untuk menghargai PRT sebagai pekerja harus terus dibangun agar masyarakat bisa berlaku adil terhadap para PRT dan memperlakukan mereka sebagai pekerja yang selayaknya.



Membawa para pekerja rumah tangga ke dalam nilai-nilai kita merupakan sebuah gerakan besar, baik bagi mereka sendiri maupun bagi semua pekerja yang mendambakan pekerjaan yang layak, namun hal ini juga membawa implikasi besar dalam migrasi dan tentunya kesetaraan gender,” kata Somavia.


Dalam teks pengantar, Konvensi baru ini mengatakan bahwa “pekerjaan rumah tangga masih dinilai rendah dan tidak terlihat serta umumnya masih dilakukan para perempuan dan anak perempuan, yang banyak dari mereka merupakan pekerja migran atau anggota dari kelompok masyarakat rentan dan mereka pun rentan terhadap diskriminasi dalam hal kerja dan jabatan, serta terhadap bentuk pelanggaran hak asasi manusia lainnya”.

Michelle Bachelet, Direktur Eksekutif UN Women, dalam sambutannya di hadapan Komite Konferensi, mengatakan bahwa defisit pekerjaan yang layak di antara pekerja rumah tangga “tidak lagi dapat ditoleransi,” seraya menambahkan bahwa UN Women akan mendukung proses ratifikasi dan penerapan instrumen baru ILO ini.

“Kami membutuhkan standar yang efektif dan mengikat untuk memberikan pekerjaan yang layak bagi para pekerja rumah tangga, sebuah kerangka kerja yang jelas untuk memandu pemerintah, pengusaha dan pekerja,” ujar Halimah Yacob, Wakil Ketua dari Pekerja dari Singapura. Ia menegaskan bahwa tanggung jawab bersama akan memberikan pekerja rumah tangga apa yang mereka butuhkan: pengakuan sebagai pekerja; dan rasa hormat serta martabat sebagai manusia.

Paul MacKay dari Selandia Baru, Wakil Ketua dari Pengusaha mendeklarasikan: “Kami semua sepakat pentingnya membawa pekerjaan rumah tangga ke dalam standar ketenagakerjaan dan merespons pada perhatian besar atas hak asasi manusia. Semua pengusaha sepakat bahwa ada peluang untuk melakukan hal yang lebih baik bagi para pekerja rumah tangga serta rumah tangga dan keluarga di mana mereka bekerja”.

“Dialog sosial sangat jelas tercemin dari hasil yang dicapai ini,” demikian disimpulkan Ketua Komite, H.L. Cacdac, Delegasi Pemerintah dari Filipina saat menutup diskusi.

“Ini merupakan pencapaian besar,” kata Manuela Tomei, Direktur Program Kondisi Kerja dan Ketenagakerjaan ILO, dengan menyebutkan standar-standar baru ini “keras”, tapi fleksibel.” Ia menambahkan bahwa standar-standar baru ini memperjelas bahwa “pekerja rumah tangga bukanlah pelayan ataupun ‘anggota keluarga’, tapi pekerja. Dan setelah hari ini mereka tidak bisa dianggap lagi sebagai pekerja kelas dua.”

Pengadopsian standar-standar baru ini merupakan hasil dari keputusan yang diambil pada Maret 2008 oleh Badan Pengawas ILO untuk menempatkan instrument ini dalam agenda Konferensi. Pada 2010, Konferensi melakukan diskusi pertama dan memutuskan untuk melanjutkan dengan perancangan Konvensi serta Rekomendasi yang telah diadopsi saat ini.

Mereka tidak terdaftar dan bekerja dalam wilayah tersembunyi (privat) sehingga sulit mendapatkan perlindungan dan pengawasan terkait standar dan norma kerja. Konvensi ini mengamanatkan kepada Negara anggota untuk segera menyusun Peraturan tentang pelaksanaan kerja layak bagi sektor Pekerjaan Rumah Tangga.


Para majikan tidak akan bisa leluasa berkarir diluar rumah, seandainya masih harus melakukan pekerjaan Rumah tangga, terutama para istri yang berkarir diluar rumah. Peran PRT merupakan kompromi dari fungsi istri sebagai ibu rumah tangga dan istri dalam membantu ekonomi keluarga. Meski tidak langsung, PRT juga berkontribusi dalam Pembangunan Nasional melalui peningkatan pendapatan keluarga majikan dan peningkatan pajak penghasilan karena keleluasaan berkarir diluar Rumah tersebut.


Salah satu yang disoroti dalam konvensi 189 adalah standar upah. Pemerintah harus menetapkan standar upah bagi PRT yang bekerja didalam Negeri, minimal sesuai dengan kebutuhan hidup layak. Upah layak bagi PRT merupakan hal yang wajar, karena mereka bekerja untuk menghidupi keluarga dan mempersiapkan masa depan yang lebih baik. Upah layak semestinya tidak dianggap sebagai beban tetapi sebagai upaya meningkatkan roda perekonomian Lokal/Nasional.


Bisa dibayangkan seandainya PRT mendapatkan upah layak, daya beli mereka semakin besar, dan akibatnya produksi dalam Negeri akan terserap dengan baik. Standar kondisi kerja lain yang disoroti dalam Konvensi tersebut adalah Jam kerja, istirahat dan cuti berbayar, perlindungan sosial, Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dan kebebasan berserikat serta perlindungan khusus bagi PRT yang tinggal dirumah majikan (live-in), PRT Anak dan PRT sebagai buruh Migran.


Terkait buruh Migran, Sudah semestinya Negara memberikan perlindungan lebih dulu kepada PRT yang bekerja didalam Negeri sebelum berbicara tentang perlindungan PRT yang bekerja sebagai buruh Migran (sekitar 80% buruh Migran bekerja sebagai PRT). Ketika PRT yang bekerja didalam Negeri sudah terlindungi dan memiliki standar upah dan kesejahteraan, maka Pemerintah akan mempunyai posisi tawar yang lebih baik kepada Negara Penerima TKI terhadap perlindungan PRT-nya.


Pekerjaan yang layak merupakan aspirasi masyarakat yang memberikan peluang memperoleh pekerjaan produktif dan memperoleh penghasilan yang adil, keamanan ditempat kerja dan perlindungan social bagi keluarganya. Konsep kerja layak perlu diperluas untuk mencakup sektor informal termasuk PRT dan berkontribusi mengatasi pengangguran di Indonesia.


Bisa dibayangkan seandainya PRT diakui sebagi sebuah profesi pekerjaan, maka jutaan buruh akan terserap dan tersalurkan dengan baik, dan pada akhirnya PRT tidak lagi dianggap sebagai pekerjaan rendahan. Cukup aneh rasanya, jika masih ada pihak-pihak yang merasa belum siap untuk merealisasikan kerja layak bagi PRT setelah 70 tahun Indonesia Merdeka. Budaya lokal atau kekeluargaan masih menjadi alasan utama untuk menghindar dari zona nyaman selama ini.


Padahal amanat UUD 1945 pasal 27 ayat 2 dengan jelas menyatakan bahwa ‘Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan’ dan sila ke-5 Pancasila ‘Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia termasuk PRT tentunya. Pasal dan Sila tersebut hanya slogan yang menarik untuk bahan diskusi tetapi minim implementasi. Selamat memperingati Hari PRT Internasional dan semoga cita-cita kerja layak bagi PRT dapat segera terwujud....!!!

5 tahun berselang, upaya untuk menciptakan kerja layak bagi PRT masih jauh panggang dari api. Pembahasan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga berjalan sangat lambat, bahkan sempat tidak menjadi prioritas pembahasan di DPR RI. Sementara itu, inisiatif baik untuk menerbitkan Peraturan Menteri tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga No 2 Tahun 2015, ternyata tidak diimplementasikan, lantaran substansi yang tidak cukup menjawab kebutuhan perlindungan dan pengakuan bagi PRT.


Pada saat yang sama, muncul kebijakan baru yang justru berpotensi mendiskriminasi pekerja dan pekerjaan rumah tangga yaitu: Peta Jalan Nol Pekerja Rumah Tangga pada tahun 2017 (Zero Domestic Workers 2017) dalam penempatan buruh migran Indonesia ke luar negeri. Peta Jalan Nol Pekerja Rumah Tangga migran ini (road map zero domestic workers 2017) berpotensi menjadi masalah baru, karena menghambat hak warga untuk bekerja ke luar negeri, padahal persoalan-persoalan yang mendorong terjadinya migrasi yaitu kemiskinan belum dapat diselesaikan. Lebih dari itu, program zero domestic workers 2017, justru bertentangan dengan standart internasional yang sudah mengakui dan melindungi pekerja rumah tangga sebagaimana pekerja lainnya. Berbanding lurus dengan hal tersebut, kasus-kasus kekerasan, eksploitasi dan perselisihan kerja yang dialami oleh PRT semakin meningkat.



Nasib Pekerja Rumah Tangga (PRT) tak henti didera persoalan. Dari jaman kolonial Belanda, kerajaan hingga jaman modern, sebenarnya PRT sudah hadir di sekitar kita. Namun, keberadaannya seolah tak pernah diakui. Hingga nasib menimpa mereka. Sesulit itukah mengakui PRT sebagai pekerja dan semua orang yang mengambil jasanya memberikan haknya sebagaimana pekerja lainnya?



Asal Mula Keberadaan PRT di Indonesia
Keberadaan Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Indonesia ditandai dengan adanya jaman perbudakan (Drs. Suprapto,SU/ 1999), yang terlihat melalui munculnya orang-orang tertentu yang melakukan pekerjaan di bawah pimpinan orang lain. Para budak ini tidak mempunyai hak apapun, termasuk hak atas hidupnya. Satu-satunya yang mereka miliki hanyalah kewajiban melakukan pekerjaan, kewajiban menuruti segala perintah dan kewajiban mentaati segala petunjuk dan aturan dari pemilik budak.  


Sejarah awal mula PRT sulit untuk dideskripsikan, karena tidak jelas kapan jenis pekerjaan ini muncul. Kartodirjo via Dwiyanto (1999) menjelaskan bahwa pada awal abad XX ketika budaya kolonial mulai bersemangat modernisasi, pada umumnya golongan masyarakat pribumi merasa terancam dengan kedudukan dan kepentingannya. Sehingga mereka bereaksi dengan antara lain menirukan atau menyaingi gaya hidup kolonial dengan berbagai modernitasnya. Sejak itulah golongan masyarakat kelas atas memakai jasa para budak.


Dalam sejarah masyarakat, dikenal istilah budak, abdi, batur, bedinde, ngenger yang memiliki kesamaan karakteristik, yaitu seseorang yang melakukan pekerjaan di wilayah domestik, namun ada pula perbedaan eksistensinya karena masing-masing memiliki latar belakang historinya sendiri-sendiri.


Wangsitalaja (1999) mengatakan ada jenis budak sebagai hukuman pengadilan dan ada budak tawanan perang, yang keseluruhannya kemudian menjadi milik pribadi. Kedekatan fenomenologis antara budak dengan PRT bisa ditemukan pada sisi bahwa keduanya adalah orang/sekelompok orang yang telah dimanfaatkan orang/sekelompok orang  sebagai labour force oleh orang/sekelompok orang lainnya untuk urusan kerja-kerja subsistensial.


Pada masa kerajaan terutama jaman feodalisme di Jawa, istilah budak berubah menjadi abdi. Abdi dalem adalah sebutan kebanggaan bagi mereka yang bekerja menjadi pegawai raja. Di antara jenis profesi kerja abdi dalem juga terdapat orang yang secara khusus menjadi emban (pembantu) di keluarga sang raja. Kerja emban (pembantu) memiliki kesamaan ciri dengan PRT.


Masyarakat feodal atau pra-kapitalis ini merupakan masyarakat yang sudah mengenal produksi, tetapi hasil produksinya hanya untuk memenuhi kebutuhan kelas majikan.


Wangsitalaja (1999)mengatakan bahwa PRT ketika itu adalah orang yang bekerja yang semata mengandalkan kompetensi ketrampilan di dalam rumah, seperti memasak, mencuci, merawat kebun, mengurus rumah dan mengasuh anak. Hal ini sering dikategorikan sebagai sebuah ketrampilan yang sering dikategorikan sebagai ‘tidak terampil’. Karena kompetensi ini sangat dekat (dianggap dekat) dengan dunia perempuan, maka jenis pekerjaan ini sebagian besar memang dimasuki oleh perempuan.


Sebelum perang kemerdekaan 1945 kata “jongos” dan “babu” sering dipakai untuk menyebut pekerja rumah tangga, dan merupakan peninggalan masa kolonial. Di kutip dari Hairus Salim H.S (2013), jongos adalah laki-laki yang bekerja di sektor publik, mendapatkan bayaran, seberapa pun kecilnya bayaran tersebut. 


Adapun babu adalah perempuan yang bekerja di sektor domestik dan tidak mendapat gaji. Dengan dua alasan itu, “jongos” dan “babu” menjadi istilah yang sangat merendahkan dan diskriminatif, sehingga layak disingkirkan dari tata tutur orang beradab. 


“Ngenger” Dalam Budaya Jawa
Pada masyarakat Jawa sejak jaman dahulu sudah dikenal konsep atau tradisi budaya ngenger. Tradisi dan budaya ngenger di Jawa masih diadopsi oleh majikan di dalam mempekerjakan PRT.

Di dalam budaya dan adat Jawa tidak ada definisi yg pasti mengenai konsep “ngenger”. Ada beberapa konsep yang mendefinisikan “ngenger”. Di dalam penelitian yang dilakukan International Labour Organisation (ILO) di tahun 2004 pernah mendefinisikan istilah “ngenger”:


“Istilah “ngenger” merupakan tradisi yang dikenal pada masyarakat Jawa yang artinya seorang dari anak dari keluarga yang kurang mampu yang dititipkan kepada kerabatnya atau keluarga besarnya di kota yang dipandang lebih mapan atau dapat pula dititipkan pada keluarga yang tidak memiliki hubungan apapun, namun memiliki komitmen untuk membantu anak tersebut. Tujuan “ngenger” adalah anak ditanggung seluruh biaya hidupnya dan pendidikannya untuk masa depan yang lebih baik. Sebagai imbalannya maka anak tersebut harus membantu berbagai pekerjaan rumah tangga”.


Sedangkan Putranto, P. (2001) menjelaskan “Ngenger” artinya ialah seorang anak di titipkan kepada kerabatnya atau keluarga besarnya (extended family) di kota yang dipandang lebih mapan (berada). Atau dapat pula dititipkan pada keluarga yang tidak memiliki hubungan keluarga apapun namun mereka memiliki komitmen untuk membantu anak tersebut. Biasanya anak ngenger berasal dari keluarga yang kurang mampu (miskin) yang kemudian dititipkan pada keluarga yang lebih tingkat sosial ekonominya lebih tinggi. Karena dengan ngenger diharapkan anak tersebut ditanggung seluruh biaya hidupnya, dapat magang atau mendapatkan pendidikan yang lebih baik bagi bekal hidupnya dikemudian hari. Sebagai imbalannya, maka anak tersebut akan bekerja membantu berbagai pekerjaan rumah tangga serta pekerjaan-pekerjaan lainnya dari keluarga tersebut. Dengan nama yang berbeda, tradisi ngenger ini nampaknya juga terjadi pada suku-suku bangsa lainnya di Indonesia, misalnya Batak, Minang, Bugis, Madura, dan lain-lain.


Di dalam budaya ngenger jelas ada kesediaan dari keluarga yang diikuti untuk membantu anak demi masa depannya, tetapi juga ada kesediaan anak untuk bekerja di dalam rumah tangga dengan berbagai pekerjaannya sebagai anggota keluarga. Hanya ia tidak mendapatkan imbalan/upah berupa uang. Dalam budaya ngenger, anak wajib patuh dengan segala perintah dan peraturan dari keluarga yang diikutinya. Pada situasi tersebut, anak menjadi rentan mengalami kekerasan dan eksploitasi dari keluarga diikutinya.


Penyebutan Istilah Pekerja vs Pembantu
Perkembangan ekonomi juga mempengaruhi perubahan di dalam pola relasi antar manusia. Namun, hubungan antara majikan dengan pekerja rumah tangga di tengah sistem sosial tersebut tidak mengalami perubahan. PRT tetap di perlakukan sebagai pembantu dengan eksploitasi yang melekat pada relasi yang tidak adil.


Awalnya PRT sering disebut Pembantu Rumah Tangga, yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga.  Kedudukan pembantu masih dianggap bersifat kerja mengabdi dan menghamba. Jika ada bayaran atau upah, itu karena dianggap sebagai kebaikan majikan.


Hubungan kerja antara majikan dengan PRT sudah ada sejak lama.  Dikutip dari data International Labour Organisation (ILO) di tahun 2004, sebutan Pembantu merendahkan arti dan eksistensi mereka karena fungsi PRT hanya diposisikan sebagai seseorang yang membantu pekerjaan dan bukan sebagai pekerja. Relasi hubungan ini memiliki ketimpangan dan terjadi relasi yang tidak adil.


Hal ini semakin menjelaskan penggunaan istilah pekerja dalam konteks pekerja rumah tangga masih menjadi perdebatan tidak saja di Indonesia tetapi juga di negara lain, khususnya di negara-negara yang sedang berkembang. Sementara para aktivis berpandangan bahwa pekerja rumah tangga adalah sama dengan pekerjaan lainnya. Oleh sebab itu tidak ada alasan untuk membedakan pekerjaan ini dengan jenis pekerjaan lain, sehingga Pekerja Rumah Tangga adalah sebutan yang paling tepat untuk mengklasifikasikan jenis pekerjaan ini. Bukan dengan mereduksi, mendiskriminasi dan menggolongkannya sebagai “pembantu”.  


Karena alasan tersebut, para aktivis kemudian mengajukan istilah “pekerja” untuk menggantikan penyebutan “pembantu”. Dengan penyebutan Pembantu Rumah Tangga menjadi Pekerja Rumah Tangga, maka mereka yang bekerja di dalam rumah yang melakukan pekerjaan rumah tangga, laki dan perempuan, diperlakukan sebagai pekerja yang mempunyai hak dan kewajiban yang jelas.


Istilah pekerja juga sebagai bentuk pengakuan PRT sebagai bagian dari pilihan pekerjaan. Pola pikir dan cara pandang PRT sebagai bagian dari keluarga telah melemahkan posisi PRT sebagai pekerja. Memperlakukan PRT sebagai bagian dari keluarga adalah hal yang baik, tetapi hubungan kerja tetap harus dilakukan dengan profesional.


Penyebutan “pembantu” menjadi “Pekerja Rumah Tangga” merupakan bentuk penghargaan pengakuan bahwa PRT sebagai pekerja yang memiliki hak-hak dan kewajiban yang melekat dan sama sebagai pekerja.


Perjuangan PRT adalah perjuangan klas buruh
Posisi perempuan dan laki-laki yang tidak setara, telah menempatkan perempuan pada ranah kerja domestik (kerja rumah tangga). Posisi perempuan dipinggirkan pada kerja-kerja yang mempunyai kelangsungan hidup yang tidak stabil, berupah rendah, dan dikategorikan tidak terampil. Hubungan perempuan dan kerja, meskipun tidak mutlak dan radikal, merumuskan posisi perempuan dalam wilayah marginal. 


Sistem ekonomi kapitalistik yang menempatkan PRT sebagai kerja sektor domestik harusnya dianggap sebagai kerja yang sama dengan kerja produktif di sektor publik lainnya. Perempuan yang bekerja sebagai PRT tidak boleh dimarginalkan karena kerja-kerja PRT adalah bagian dari sektor kerja produktif.


PRT harus diakui sebagai pekerja, walau banyak yang mengatakan bahwa menjadi PRT karena terpaksa. Dalam kebutuhan pasar tenaga kerja, PRT dapat menjadi pilihan dan peluang kerja. Aktifitas kerja di ruang publik tanpa peran dari kerja-kerja PRT juga sangat melelahkan. Karena aktifitas kerja di luar rumah, maka kebutuhan untuk mempekerjakan PRT semakin meningkat. Peningkatan produktivitas dan jenjang karir seorang majikan misalnya, tidak lepas dari peran kerja PRT. Namun padatnya aktifitas kerja domestik sering tidak terlihat hasilnya. Karena tidak terlihat hasilnya, maka sering pekerjaan PRT dianggap bukan sebuah pekerjaan. Beratnya pekerjaan domestik sering tidak dirasakan oleh majikan yang mempekerjakan PRT. Segala keperluan dan kebutuhan untuk pekerjaan rumah yang dilakukan PRT tersus dinikmati Majikan.


Kesibukan aktifitas rumah tangga dan publik membuat masyarakat kelas menengah lebih memilih mempekerjakan PRT. Alangkah enak dapat beraktifitas tanpa harus mengerjakan beban pekerjaan di rumah. Bisa bebas dan leluasa bekerja di luar tanpa harus lelah memikirkan dan mengerjakan pekerjaan rumah. Rutinitas membersihkan rumah, mencuci dan gosok, memasak, dan pekerjaan rumah yang lain sudah ada yang mengerjakan. Majikan bisa menikmati rumah nyaman dan bersih tanpa harus melakukannya sendiri. Pulang kerja sudah bisa langsung beristirahat dengan kondisi yang nyaman. Bisa memakai pakaian yang bersih, licin, dan wangi untuk penampilan sehari-hari. Bisa menikmati makanan tanpa harus repot memasak.


Kerja panjang dan melelahkan yang dilakukan PRT sering tidak diimbangi perlakuan yang setara dan adil oleh majikan. Kerja panjang dan tanpa batasan jam kerja pada umumnya dialami PRT. Saat majikan belum bangun, PRT sudah beraktifitas dengan pekerjaannnya. Saat majikan sudah tidur, PRT masih belum selesai dengan aktifitas kerjanya. Majikan bisa pergi, pulang, tidur, makan dan melakukan apapun di rumahnya tanpa beban kerja rumah tangga. Majikan sering memberikan batasan bagi PRT untuk menikmati makanan. Majikan sering memberikan ruang tidur sebagai ruang istirahat yang tidak layak. Majikan sering memberikan upah kepada PRT tanpa memperhitungkan kerja berat yang sudah dilakukan. Bukankah PRT juga manusia yang mempunyai kebutuhan yang sama dengan majikannya?
 

Ditataran Kementrian Ketenagakerjaan, diakui bahwa PRT perlu diberikan perlindungan tetapi masih merasa belum siap untuk mengatur sektor pekerjaan informal seperti PRT ini, sehingga tidak termasuk dalam UU Ketenagakerjaan No.13/2003. Meski Peraturan Menteri No.2/2015 menyebutkan perlindungan PRT tetapi isinya masih jauh dari nilai-nilai yang diamanatkan didalam Konvensi ILO-189. Dengan masuknya Indonesia sebagai Negara berpenghasilan menengah, diakui atau tidak, keberadaan PRT sangat dibutuhkan dan strategis.


 Seperti kita tahu, PRT adalah profesi yang paling rentan dari eksploitasi dan kekerasan karena ranah kerjanya di rumah tangga dan belum ada aturan hukum yang melindunginya. Banyak kita temui PRT mendapatkan kekerasan fisik, kekerasan seksual baik itu pelecehan seksual, perkosaan, gaji yang tidak dibayarkan, pemecatan sepihak dan perlakuan atau penghukuman yang tidak manusiawi hanya karena persoalan atau kesalahan kecil.


Seharusnya sudah saatnya bagi pemerintah Indonesia untuk tidak menutup mata dengan banyaknya peristiwa yang menimpa PRT baik di dalam negeri ataupun di luar negeri. Sudah 12 tahun Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT diajukan ke DPR dan menjadi prioritas pembahasan dalam Program Legislasi Nasional. Namun, sampai sekarang masih belum ada kejelasan kapan akan dibahas dan disahkan menjadi undang-undang. Pemerintah Indonesia juga masih belum meratifikasi Konvensi ILO 189.




Dari penelusuran di atas, tak hanya majikan yang harus bertanggungjawab pada PRT, namun juga negara harus mengakuinya sebagai pekerja. Penyematan istilah pekerja ini tak hanya sekedar label, namun yang lebih penting dari semuanya adalah memberikan pengakuan kepada PRT sebagai pekerja. Tak boleh ada lagi istilah babu, ngenger, budak atau semacamnya. Karena PRT adalah manusia yang harus dihormati dan dihargai  haknya. Ia sebagaimana pekerja atau buruh lain harus diberikan jam kerja, waktu libur, diberikan gaji sesuai upah minimum, diberikan asuransi dan lain lain.

COMMENTS

BLOGGER
Nama

BURUH,90,DAPUR,2,E-BOOK,6,IDONESIA TENGAH,2,INDONESIA BARAT,14,INDONESIA TIMUR,1,INFO MIGRAN,146,INFO PERATURAN,41,INTERNASIONAL,37,Kobumi TV,54,LUAR NEGERI,40,NASIONAL,57,OPINI,5,PETANI,6,RELEASE,29,RELEASE BURUH,9,RELEASE KOBUMI,5,RELEASE PETANI,4,RELEASE PPRI,3,RESENSI,1,SAMIN,55,SEJARAH,1,SEKOLAH MIGRAN,49,SOLIDARITAS,36,TOKOH,2,
ltr
item
KOBUMI: Hari PRT Internasional Sudah Diperingati Sejak 16 Juni 2011
Hari PRT Internasional Sudah Diperingati Sejak 16 Juni 2011
Sejarah hari PRT Internasional
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjjIdewnvi50ZZQegSuoCTfp4lTw8EuwV8aTha5nVoYhrOeQ0plxufbGSkGIAjLt8Lv2qj3ew315EaYQvEIlHV3WNn1UVGdsRr2qe-BhvBSQRmhJbYEQpFYxURKL-Xz9AwYmFT-oLI36Kg/s640/hari-prt-internasional-sudah-diperingati-sejak-16-juni-2011.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjjIdewnvi50ZZQegSuoCTfp4lTw8EuwV8aTha5nVoYhrOeQ0plxufbGSkGIAjLt8Lv2qj3ew315EaYQvEIlHV3WNn1UVGdsRr2qe-BhvBSQRmhJbYEQpFYxURKL-Xz9AwYmFT-oLI36Kg/s72-c/hari-prt-internasional-sudah-diperingati-sejak-16-juni-2011.jpg
KOBUMI
https://kobumi.blogspot.com/2017/07/hari-prt-internasional-sudah.html
https://kobumi.blogspot.com/
https://kobumi.blogspot.com/
https://kobumi.blogspot.com/2017/07/hari-prt-internasional-sudah.html
true
3067231038423991292
UTF-8
Loaded All Posts Not found any posts VIEW ALL Readmore Reply Cancel reply Delete By Home PAGES POSTS View All BACA JUGA ARTIKEL INI LABEL ARCHIVE SEARCH ALL POSTS Not found any post match with your request Back Home Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS CONTENT IS PREMIUM Please share to unlock Copy All Code Select All Code All codes were copied to your clipboard Can not copy the codes / texts, please press [CTRL]+[C] (or CMD+C with Mac) to copy