Lindungi PRT, Stop Rasisme dan Akhiri Perbudakan Moderen
![]() |
Sampai saat ini Hong Kong dibawah pemerintahan RRC masih belum meratifikasi konvensi ILO 189 tentang kerja layak PRT sebagai acuan dalam pembuatan Undang-Undang PRT. Hal ini mengakibatkan PRT Migran menjadi korban penghisapan agensi dan majikan bahkan pemerintah. Sudah seharusnya penindasan terhadap PRT ini dihapuskan.
“Kami mempunyai dasar untuk menuntut perbaikan nasib PRT baik di negara penempatan maupun di tanah air. Karena memang secara internasional ada dasar perlindungannya. Dan kondisi kerja kami yang masih eksplotatif ini harus diperjuangkan secara keras agar berubah menjadi baik,“ orasi dari Evan membuka aksi di Peterson Street, Causeway Bay.
Sementara Umi Sudarto dari Kobumi menyampaikan kondisi kerja PRT Migran di Hong Kong masih dibelenggu dengan tidak adanya aturan jam kerja dan wajib tinggal di rumah majikan. PRTA di Hong Kong rata rata mempunyai jam kerja yang panjang. Kerja dari jam 6 pagi hingga jam 11 malam. Bahkan ada yang sampai bekerja hingga jam 2 pagi. Kondisi ini sangat berpengaruh bagi kesehatan kita, banyak kawan kawan yang tiba-tiba mengidap penyakit darah rendah, tiba-tiba pingsan, tiba-tiba struk, bahkan hingga menyebabkan resiko kematian.
"Pemerintah Indonesia dan pemerintah Hong Kong sudah seharusnya memberi perhatian khusus bagi PRT Migran. Mereka sudah harus menerapkan batasan jam kerja. Sehingga selain kesehatan bisa dijaga, PRT Migran juga mempunyai kesempatan yang sama untuk memenuhi kebutuhan pribadinya seperti, belajar, olah raga, membaca atau kebutuhan lainnya sebagai kebutuhan dasar yang manusiawi. Kami dengan tegas menuntut pemerintah untuk segera merubah kondisi ini dan harus dimasukan dalam pasal diperjanjian kontrak kerja,” tuntut Umi dengan tegas.
Sebagai solidaritas, aksi ini dihadiri juga oleh organisasi lokal yakni dari Sosialis Action, organisasi yang memberikan dukungan khusus kepada tuntutan perbaikan kondisi kerja PRT di Hong Kong. Sally dalam orasinya menyampaikan dukungan penuh kepada aksi ini,
“Masih banyak buruh migran yang dieksplotasi melalui praktek praktek overcharging dan jam kerja yang panjang, menunjukan bahwa bahwa perbudakan modern di Hong Kong nyata adanya. Tuntutan 8 jam kerja adalah tuntutan yang harus segera dipenuhi untuk menghentikan praktek perbudakan ini, kita harus turun ke jalan untuk merebut hak ini. Banyaknya ekplotasi menunjukan pemerintah Hong Kong tidak mampu menegakkan hukum international,” ucap Sally.
Aksi berlangsung selama 30 menit di Peterson street, kemudian dilanjutkan dengan aksi berjalan kaki menuju Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Hong Kong (KJRI Hong Kong). Saat melakukan konvoi jalan kaki, massa meneriakkan yel yel terkait Ratifikasi konvensi ILO c 189, pemberlakuan aturan 8 jam kerja, pencabutan UU 39/2004, hak pilih untuk tinggal di luar rumah majikan, stop rasisme, stop diskriminasi dan akhiri perbudakan modern.
Aksi berhenti di tujuan akhir yakni di depan gedung KJRI Hong Kong dan kemudian dilanjutkan dengan orasi politik dari solidaritas aksi juga datang dari Serikat Koki, Federation Domestic Worker Union ( FADWU ), Aktifis Feminist dan juga massa yang kebanyakan PRT asal Indonesia yang tertarik menonton aksi tersebut.
Koki Union yang baru saja memenangkan tuntutan upah dalam orasinya menyatakan bahwa PRT Migran di Hong Kong datang untuk bekerja, maka sudah selayaknya mereka diperlakukan sebagai buruh yang mempunyai hak setara dengan buruh Hong Kong juga sebagai manusia bukan budak.
“Dari FADWU menyatakan bahwa konvesi ILO C 189 itu sangat penting untuk PRT dan harus diterapkan sebagai batasan aturan jam kerja yakni aturan kerja 8 jam bagi PRTA di Hong Kong. Juga di semua negara-negara yang menerima PRT Migran lainnya.
Diujung aksi, diakaukan pembacaan stateman tuntutan oleh Indra Tsu dari Srikandi Jawa dan kemudian diserahkan langsung ke perwakilan KJRI Hong Kong.
Meski aksi dihajar oleh hujan deras, massa aksi terus berdemo dengan semangat perlawanan yang tinggi. Disela-sela aksi, petugas aksi massa juga sempat mengumpulkan tanda tangan dukungan untuk perjuangan penerapan batasan 8 jam kerja bagi PRT di Hong Kong untuk diterapkan dalam perjanjian Kerja.
Komite Perjuangan Perempuan ini beranggotakan 4 organisasi yakni KOBUMI, Srikandi jawa, SERPAN dan BKB. Komite ini akan terus memperjuangkan tuntutan buruh migran dan rakyat tertindas lainnya.
COMMENTS