Sahkan Segera RUU Perlindungan PRT
![]() |
Melihat dari latar belakang keluarga responden, sebagian besar berasal dari keluarga petani/nelayan kelas bawah, pekerja pabrik tukang ojek, maupun pekerja rumah tangga seperti mereka. Semua kategori mencakup jenis pekerjaan yang kurang dapat memberikan tingkat penghidupan memadai dengan rata-rata penghasilan Rp 200.000 sampai Rp 1.000.000. penghasilan tersebut dapat dipastikan tidak mencukupi kehidupan keluarga batin yang rata-rata beranggotakan empat sampai enam orang
Kondisi tersebut berimplikasi pada tingkat pendidikan yang dapat ditamatkan oleh para PRT. Sebagian besar responden hanya menamatkan sekolah hingga SMP dan tingkatan SD dan hanya seorang responden yang berpendidikan SMA. Dengan modal itu, pekerjaan buruh pabrik pun sulit mereka memasuki. Hal itu mendorong mereka untuk mencari dan menerima apa pun jenis pekerjaan yang tersedia dan pilihan bekerja sebagai PRT dianggap paling rasional.
Rendahnya akses terhadap pendidikan tampaknya memaksa mereka memasuki dunia keja di usia sangat muda. Separuh lebih PRT didalam survei ini berusia 13 sampai 20 tahun. Sayangnya,pengalaman sebagai PRT tidak banyak menambah keterampilan yang mereka miliki bersaing di bursa tenaga kerja. Hal ini tampak dari pengakuan sebagian besar responden yang tak berani bercita-cita ganti profesi. Cita-cita yang paling banyak dikemukakan adalah keinginan diajak menikah setelah tidak lagi menjadi PRT.
Pada umumnya, jenis pekerjaan yang dikerjakan PRT tidak beranjak jauh dari urusan seputar memasak, mencuci, menyetrika, dan membersihkan rumah. Separuh lebih responden (53.4 persen) menyatakan hal itu. Beberapa pekerja mengaku pekerjaannya masih ditambah dengan mengurus anak.
Karena bergelut dengan pekerjaan sehari-hari keluarga, pekerjaan rumah tangga praktis menjalankan ritme kerja yang melebihi jam kerja para pekerja umumnya. Sebagian besar PRT (80,0 persen) mulai bekerja pukul 05.00 dan baru pergi tidur pukul 20.00 (15 Jam). waktu istirahat kerja hanya 2 jam, dan rata-rata bekerja 7 hari seminggu.
Di dalam survey ini terungkap pula masih ada majikan yang tidak memenuhi hak cuti, tidak memberikan kamar tidur sendiri, menolak membiayai saat sakit, membedakan menu PRT dengan anggotab keluarga lainnya, serta tidak memberikan tunjangan hari raya.
Lebih jauh sebagian besar (PRT 60%) mengakui bahwa perjanjian kerja yang ada hanya berbentuk lisan dan umumnya hanya berisi tentang besar gaji yang akan mereka terima. Dengan beban kerja yang cukup berat, penghasilan mereka sebulan sebagian besar berkisar diantara jumlah Rp 300.000 hingga Rp 600.000.
Kisaran angka ini berlaku untuk semua kelas sosial rumah tangga. Artinya , meski rumah tangga yang memperkerjakan PRT ada dalam strata atas, tidak menjamin penghasilan yang tinggi bagi PRT. Tampaknya jenis pekerjaan diranah domestik ini secara umum masih dipandang remeh-temeh dan oleh karena itu pemenuhan hak-hak masih jauh dari layak.
Apa yang tergambar di atas menjadi ironis dengan peran signifikan pekerja rumah tangga dalam proses produksi ekonomi kapitalistik. Signifikansinya terletak pada peran mereka dalam melakukan reproduksi sosial tenaga kerja.
Tugas-tugas domestik yang mereka kerjakan kemungkinan para majikannya dapat beristirahat dengan tenang sepulang bekerja, nikmati santapan yang disediakan, berganti pakaian bersih, dan menikmati situasi rumah yang bersih dan rapi. Seluruh situasi ini membuat para majikan dapat bekerja kembali keesokan harinya dan memberikan hasil produktif bagi perekonomian.
Namun, kenyataan ini tidak serta-merta membuat status mereka sama dengan para pekerja lainnya. Pemilihan sebutan Pembantu Rumah Tangga dan bukan Pekerja Rumah Tangga menunjukan bahwa kerja-kerja pada domain domestik yang mereka lakukan didefinisikan sebagai sekedar membantu.
Selain itu, meski para PRT merupakan bagian dari angkatan kerja, profesi PRT belum diakui sebagai jenis pekerjaan tersendiri oleh Negara. Hal ini berimplikasi pada perlindungan atau hak-hak mereka. Berbeda dengan pekerja di sektor formal, pengaturan hak-hak PRT sampai kini masih sebatas dibicarakan dalam rancangan undang-undang PRT.
Didalam RUU PRT ini dicantumkan perihal pengaturan hak dan kewajiban PRT maupun pengguna jasa, pengupahan, perjanjian kerja, pengakhiran hubungan kerja, penyelesaian perselisihan, pengawasan, dan sanksi. Penerbitan UU PRT ini diharapkan akan memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada PRT.
PRT biasanya diperlakukan sebagai keluarga sendiri, sehingga batas antara PRT dan Majikan jadi tidak jelasn. Posisi seperti itu menjadikan PRT tidak mengetahui haknya dan bertahun-tahun kerja tanpa kejelasan status. Selain itu, situasi ini menjadikan PRT tidak terlalu mempersoalkan haknya dan dibiarkan oleh masyarakat. Bahkan kemudian PRT awalnya kerap disebut dengan panggilan atau istilah babu. Istilah ini terus digunakan dan berkonotasi rendah, diskriminatif, dan eksploitatif.
COMMENTS