Dari Kegelapan Menuju Cahaya
![]() |
Dari Kegelapan Menuju Cahaya, Foto: istimewa |
KOBUMI - Pramoedya Ananta Toer berhasil menusuri perjalanan pemikiran Kartini, yang telah mencapai tahap pemikiran sosialisme. Dan pemikiran tersebutlah yang diperkirakan disensor oleh sahabat penanya, Mr. J.H. Abendanon dan Nyonya.
Namun, sayang sebagian tulisan penelusuran oleh Pramoedya Ananta Toer tersebut dirampas dan diraibkan oleh rejim Orde Baru-Suharto, hanya dua jilid yang berhasil ditemukan kembali (seharusnya 3 jilid) dan diterbitkan menjadi buku berjudul "Panggil Aku Kartini Sadja".
Kartini sejatinya menggunakan tulisan untuk melawan tirani penjajahan secara terbuka walau harus tumpas di tangan waktu usia muda sebab menanggung perih dipersunting seorang bupati sebagai istri kedua. Kartini meninggalkan sekumpulan surat-menyurat kepada Abendanon yang kemudian dikumpulkan dan diterbitkan dalam "Door Duisternis Tot Licht" pada tahun 1911, tujuh tahun setelah Kartini meninggal.
Hari ini 21 April, yang kadung diperingati sebagai Hari Kartini, sama sekali tak menjadikan putri Jepara ini sebagai tolok ukur perjuangan perempuan. Di banyak sekolah, sejak beberapa tahun silam, peringatan akan Kartini hanya berhenti pada penggunaan kebaya dan parade kostum belaka. Tak lebih dari itu. Kartini hanya sekadar dijadikan simbol. Hanya menjadi artefak belaka. Para guru, terutama, kerap berlindung di balik kata pejuang perempuan untuk menjelaskan Kartini, tanpa bisa mengisahkan apa saja yang telah dilakukannya hingga wafat.
Secara harfiah, bahasa Belanda itu diterjemahkan berarti "Dari Kegelapan Menuju Cahaya". Penerbit Balai Pustaka pada 1922, menerjemahkan dan menerbitkannya menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang”, dengan hanya memuat 115 surat Raden Ajeng Kartini.
Kemunculan surat-surat Kartini ini dicatat sama dengan buku Multatuli (Eduard Douwes Dekker) dengan roman Max Havelaar-nya. Keduanya adalah manusia Abad-19. Seperti Kartini di Jepara, mantan Asisten Residen Lebak, Banten, ini mengabarkan kepiluan dan penindasan yang dilihatnya di sana. Ada ketidakadilan yang mengusik nuraninya. Baik Kartini ataupun Multatuli, keduanya sama menyuarakan persamaan derajat manusia Jawa dengan Belanda. Persamaan hak hidup. Itulah sejatinya napas politik yang bahkan hingga kini pun belum lagi bisa diwujudkan di Indonesia.
Kartini adalah pemula dari sejarah modern Indonesia. Dialah yang menggodok aspirasi-aspirasi kemajuan yang di Indonesia pertama kali timbul di Demak – Kudus – Jepara sejak pertengahan kedua abad yang lalu (Abad 19). Ditangannya kemajuan itu dirumuskan, diperincinya, dan diperjuangkannya, untuk kemudian menjadi milik nasion Indonesia. Dikatakan Indonesia, karena, sekalipun ia lebih sering bicara tentang Jawa, ia pun mengemukakan keinginannya buat seluruh Hindia—Indonesia dewasa ini. (Pramoedya Ananta Toer)
Pramoedya Ananta Toer berhasil menusuri perjalanan pemikiran Kartini, yang telah mencapai tahap pemikiran sosialisme. Dan pemikiran tersebutlah yang diperkirakan disensor oleh sahabat penanya, Mr. J.H. Abendanon dan Nyonya.
Namun, sayang sebagian tulisan penelusuran oleh Pramoedya Ananta Toer tersebut dirampas dan diraibkan oleh rejim Orde Baru-Suharto, hanya dua jilid yang berhasil ditemukan kembali (seharusnya 3 jilid) dan diterbitkan menjadi buku berjudul "Panggil Aku Kartini Sadja".
Berikut adalah cukilan kata-kata Kartini yang diambil dari surat-suratnya tersebut:
“Barang siapa tidak berani, dia tidak bakal menang; itulah semboyanku! Maju! Semua harus dimulai dengan berani! Pemberani-pemberani memenangkan tiga perempat dunia!” (Kartini) ”Sebagai pengarang, aku akan bekerja secara besar-besaran untuk mewujudkan cita-citaku, serta bekerja untuk menaikkan derajat dan peradaban rakyat kami”. (Kartini)
"Kepengarangan yang memiliki faal (perbuatan)-sosial pada gilirannya harus pula bersambung dengan pers yang progesif." (Kartini)
"...Cinta tidak pernah buta. Cinta baginya adalah memberi-memberikan segala-galanya dan berhenti apabila napas berhenti mengembus."(Kartini)
"Berikanlah padanya cinta, dan orang akan menerima cinta itu kembali. Kata-kata yang ramah tidaklah perlu meminta ongkos, namun dapat berpengaruh begitu besar." (Kartini)
"Kekuatan suatu negeri sama sekali tidak terletak pada besar atau kecilnya jumlah penduduk dan luas-sempitnya negerinya, tetapi pada nilainya dalam menguasai ilmu pengetahuan." (Kartini)
COMMENTS