Perlindungan Sejati adalah hak BMI dan anggota Keluarganya
![]() |
Dari beberapa catatan diketahui bahwa jumlah korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena resiko krisis keuangan global cukup besar. Setelah dipulangkan ke Indonesia ternyata klaim asuransi yang seharusnya didapatkan BMI atas PHK yang terjadi sangat sulit untuk dicairkan. Jikapun bisa dicairkan ternyata jumlah klaimnya tidak sesuai dengan yang termaktub dalam perjanjian dalam premi.
Berdasarkan Undang-Undang No.39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN), BMI berhak atas perlindungan dalam masa sebelum pemberangkatan, masa penempatan dan masa purna penempatan. Akan tetapi dalam kenyataaannya perlindungan sebagai hak konstitusional BMI banyak yang diabaikan dan dilanggar oleh pihak swasta dan pemerintah Indonesia.
Salah satu yang diabaikan dan dilanggar adalah hak mendapatkan klaim asuransi ketika BMI menjadi korban PHK di luar negeri. Didalam Permenakertrans No: 23/MEN/XII/2008 Tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia, setiap TKI yang di PHK sebelum masa kontraknya habis berhak mendapatkan klaim asuransi sebesar Rp. 10.000.000 (Jumlah maksimal rate klaim mengacu pada Permenakertrans Nomor 1 tahun 2012 malah berkurang menjadi Rp. 7.500.000). Adapun kewajiban untuk membayarkan klaim tersebut dibebankan kepada Konsorsium Asuransi yang telah ditunjuk oleh pemerintah.
Walaupun sudah ada dasar hukum yang jelas, Klaim Asuransi sebagai hak tidak selalu otomatis didapatkan oleh BMI. Pada kenyataannya, seluruh Konsorsium Asuransi dengan berbagai alasan tidak menjalankan kewajiban membayar klaim asuransi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dari pengalaman KOBUMI mendampingi pengurusan asuransi BMI korban PHK, seluruh Konsorsium Asuransi selalu menolak pengajuan klaim asuransi karena belum terpenuhinya persyaratan untuk pengajuan klaim asuransi yang meliputi Perjanjian Kerja, Perjanjian Penempatan, Surat keterangan PHK dari pengguna dan atau, surat keterangan dari perwakilan Republik Indonesian di negara penempatan. Konsorsium Asuransi dengan berbagai alasan memperlambat pencairan klaim asuransi tersebut. Padahal didalam Permen No. 23 tahun 2008 seharusnya pencairan klaim asuransi paling lambat 7 (tujuh) hari sejak pengajuan diterima.
Alasan selanjutnya yang digunakan oleh seluruh Konsorsium Asuransi adalah tidak adanya ketentuan didalam Undang-Undang dan Polish Asuransi bahwa BMI yang di PHK akibat Krisis Global berhak mendapatkan klaim asuransi, sehingga dengan alasan tersebut Konsorsium Asuransi hanya membayarkan klaim asuransi dengan katagori sebagai Buruh Migran Bermasalah. Dengan alasan tersebut diatas seluruh Konsorsium Asuransi hanya membayarkan klaim asuransi yang menjadi hak-nya BMI yang di PHK hanya sebesar Rp. 2.000.000.
Pelanggaran yang sangat jelas ini dilakukan secara terbuka dan dibiarkan oleh negara baik oleh BNP2TKI maupun oleh Menteri Tenaga Kerja (kemnaker) dan Menteri Keuangan. Hal ini dilakukan dengan membiarkan Konsorsium Asuransi yang tidak membayarkan klaim asuransi seperti ketentuan yang berlaku. Padahal pemerintah melalui Perusahan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) telah melakukan pungutan premi asuransi kepada setiap BMI sebesar Rp. 400.000 yang disetorkan kepada perusahaan Konsorsium Asuransi Swasta.
Pemasalahan asuransi ini karena kebijakan pemerintah tidak jelas dalam menerbitkan regulasi perlindungan buruh migran. Hal tersebut dipicu oleh Peraturan Menteri tentang Asuransi TKI dan penetapan Konsorsium Asuransi dengan ketentuan yang berbeda dengan Undang-Undang No 2 Tahun 1992 tentang usaha per-asuransian. Seharusnya asuransi yang diwajibkan berdasarkan pasal 68 UU No 39 Tahun 2004 (PPTKILN), merupakan program asuransi sosial yang hanya dapat diselenggarakan oleh BUMN. Seperti terungkap dalam penjelasan pasal 9 UU Usaha Perasuransian, keberadaan BUMN yang menyelenggarakan program asuransi bersifat sosial itu didasarkan pada Undang-Undang dan tugas serta fungsinya dituangkan dalam Peraturan Pemerintah bukan Peraturan dan atau Keputusan Menteri. Hal ini semakin parah ketika Kemnaker menafsirkan kata-kata “Jenis Program Asuransi” dalam pasal 68 ayat (2) UU PPTKLN berupa asuransi komersial. Selanjutnya Kemnaker memaksakan BMI untuk menggunakan jasa asuransi komersial tersebut. Bahkan diatur juga saksi pidananya jika tidak membayar asuransi melalui Korosarium Asuransi tersebut, padahal menurut UU No 2 tahun 1992 tentang usaha perasuransian asuransi yang bersifat komersial jelas tidak bisa dipaksakan.
Dengam dikeluarkannya kebijakan Peraturan atau Keputusan Menteri terkait, telah terang benderang menunjukkan penyalahgunaan kewenangan dan mengakibatkan memperkaya perusahaan asuransi komersial dengan dalih untuk melindungi BMI dengan memerintahkan PJTKI mengurus asuransinya pada perusahaan dan pialang Asuransi yang bersifat komersial.
Dalam hal ini penyalahgunaan kewenangan ini telah ditunjukkan oleh dikeluarkanya keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, yang menyatakan agar Menakertrans segera mencabut Kepmenakertrans No. : Kep- 280/MEN/VII/2006 yang merupakan rujukan dari Permenakertrans 23/MEN/V/2006. Kedua kebijakan tersebut sudah dibatalkan karena melanggar UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Begitupun ketika rejim berganti, tetap saja rejim mengeluarkan peraturan menteri terkait asuransi komersial yang dipaksakan dengan diselubungi penerbitan kartu elektronik sebagai bagian dari skema perlindungan BMI.
Lebih ironis lagi Peraturan dan atau Keputusan Menteri Tenaga Kerja justru bertentangan dengan UU PPTKLN khususnya pasal 5, 6, 7 dan 80 yang prinsipnya menyatakan bahwa perlindungan BMI, termasuk pemberian bantuan hukum di negara tujuan penempatan menjadi ruang lingkup pertanggungan asuransi komersial, adalah tanggungjawab negara dan sekaligus sebagai hak BMI sebagai warga Negara.
Kobumi juga mencatat tentang keberadaan uang BMI yang dipaksa membayar biaya perlindungan dan pembinaan sebesar US $ 15 kepada negara sesuai dengan ketentuan PP No. 92 Tahun 2000. Disini ada kerancuan aturan, bagaimana suatu yang dinyatakan sebagai hak dari BMI, justru dikenakan biaya sebagai perlindungan kepada negara dengan pungutan bukan pajak karena bersifat wajib dan hanya diatur dengan Peraturan Pemerintah, padahal dalam konstitusi UUD 1945 jelas diatur dalam pasal 23A yang mengaratakan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara harus diatur dengan Undang-Undang.
Dengan banyaknya kerancuan kebijakan yang menyalahi aturan dan bersifat monopolistik dan dengan pengawasan yang lemah berakibat banyak klaim asuransi yang semestinya dicairkan menjadi hangus. Disisi lain hal ini terus menguntungkan bagi pundi-pundi perusahaan konsorsium asuransi BMI.
Dari data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) tahun 2008, jumlah klaim asuransi yang belum dibayarkan oleh konsorsium asuransi BMI itu mencapai perkiraan angka Rp20 miliar. Dengan angka sebesar Rp20 miliar itu diperkirakan bahwa perusahaan konsorsium asuransi BMI telah menahan klaim asuransi sebanyak 2.000 orang BMI bermasalah tanpa alasan yang dapat dibenarkan oleh hukum.
Selama ini kecurangan sistem asuransi bagi BMI terutama terhadap BMI yang mengalami permasalahan saat bekerja di luar negeri, tidak banyak yang diungkap. Padahal ini adalah cara jahat yang dilakukan secara sistematis dan banyak merugikan BMI yang mengalami kecelakaan kerja, meninggal dunia, penyiksaan, pemerkosaan, pelecehan seksual, PHK sepihak, majikan bermasalah, yang gila, yang hilang, yang di bawah umur, yang dipekerjakan tidak sesuai dengan perjanjian kerja, dan upah mereka yang tidak dibayar oleh majikan. Jangan diharap kita sebagai BMI bisa mengajukan klaim saat di luar negeri karena diharuskan pulang ke tanah air. Hal inilah yang menghilangkan peluang BMI untuk dapat perlindungan klaim asuransi yang menjadi haknya.
Rejim demi rejim di republik ini terus saja membiarkan hal ini terjadi dan menjadi preseden buruk bagi bangsa ini. Bagi BMI baik saat pra penempatan, saat bekerja di luar negeri maupun purna bekerja jelas tidak mendapatkan kepastian perlindungan dari asuransi. Hal ini seharusnya direspon oleh rejim Jokowi-Jk untuk mengambilalih menjadi tanggung jawab negara. Jika ini tidak dilakukan segera maka BMI bisa menuntut negara untuk menjamin perlindungan pasti dengan perubahan paradigma dan aturan hukum yang menyeluruh.
Refrensi terkait asuransi bisa di download:
1. Permenakertarans No. 7 Tahun 2010 DOWNLOAD
2. Permenakertarans No. 1 Tahun 2012 DOWNLOAD
COMMENTS