Hapus Perbudakan Modern terhadap BMI di Asia Timur
![]() |
Ternyata mayoritas BMI yang bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Hong Kong dipekerjakan secara over time atau berlebih. BMI tidak mempunyai jam kerja yang pasti. Buruh rumah tangga di Hong Kong rata rata harus menjalani 16-18 jam dalam sehari, bahkan ada yang lebih. Waktu yang panjang itu menjadi terasa berat ketika majikan tinggal di rumah. Bukankah ini bentuk-bentuk perbudakan modern?
Bukan hanya faktor pekerjaan saja yang membuat BMI tertekan, tapi sering kali sikap majikan dan kondisi keluarga majikan menambah beratnya beban kerja di Hong Kong. Dari pengaduan yang diterima KOBUMI, dalam satu minggu rata rata 3 dari BMI mengeluhkan jam kerja yang panjang dan pekerjaan yang tidak sesuai dengan Perjanjian Kerja.
Selain berhadapan dengan jam kerja yang panjang, fasilitas yang didapat BMI membuat kondisi kesehatan BMI sangat rentan dengan kesehatannya. Banyak BMI yang terpaksa istirahat/tidur yang tidak layak (tidur di lantai, dapur, ruang tamu bahkan ada yang tidur di kamar mandi). Kondisi ini terus dialami BMI tanpa ada peluang untuk mengkomplain atau menuntut fasilitas yang lebih baik. Resikonya malah bisa diinterminit atau di PHK secara sepihak.
Biaya penempatan yang berlebih (Overcharging) adalah salah satu modus kejahatan jebakan Utang yang menjerat BMI. Overcharging ini membuat BMI pasrah menjalani kerja sebagai "budak" di rumah majikan.
Atina (bukan nama sebenarnya), BMI asal Magelang, bahkan dipekerjakan untuk memijit langganan majikannya yang membuka praktek memijit di rumahnnya. Atina terpaksa bekerja sebagai pemijit dalam jangka waktu yang lama, sehingga tangannya sering kali merasa kesakitan dan bengkak. Atina berani komplain ke agensinya, tapi malah dimarahi dan dituduh tidak berniat kerja di Hong Kong.
Setelah mengadu ke KOBUMI, Atina kemudian membuat laporan tertulis terkait semua hal yang dialaminya. Laporan ini kemudian dia kirimkan ke ke Labor Departeman dan Imigrasi sebagai bukti komplain atas pekerjaan yang tidak sesuai dengan Perjanjian Kerja. Namun yang terjadi, ia menjadi ketakutan karena agennya mengancamnya diinterminit dan dipulangkan ke Indonesia. Atina juga dipaksa untuk membayar ganti rugi kepada agensi dan PJTKI yang memberangkatkannya sebesar HK $ 18 000 atau sekitar 27 juta rupiah.
Bagaimana Atina akan membayar uang sebanyak itu ketika kondisi ekonomi keluarganya di tanah air sangat pas-pasan? Jebakan Utang lewat Overcharging dan ancaman PHK sepihak inilah yang menjadi momok bagi BMI di Hong Kong untuk melawan. Apakah ada bantuan atau perlindungan dari pemerintah Indonesia?
Jika ditelusuri maka Jebakan Utang ini berawal dari kebijakan pemerintah Indonesia terkait dengan biaya penempatan yang mahal. Undang-Undang no 39 tahun 2004, pasal 24 yang berbunyi: “Penempatan TKI pada pengguna perseorangan harus melalui mitra usaha di Negara tujuan“.
Dari pasal ini artinya pemerintah Indonesia terkait penempatan BMI ke luar negeri menyerahkannya semuanya kepada pihak swasta. Proses penempatan ini menjadi ladang bisnis untuk mengeruk keuntungan yang besar bagi pihak swasta (PPTKIS). Bahkan perlindungan yang seharusnya tanggung jawab negara harus dibayar oleh BMI dan menjadi bisnis yang menggiurkan bagi perusahaan asuransi swasta. Pasal 24 ini menjadi momok berat bagi BMI.
Terkait biaya penempatan, UU menyatakan biayanya tidak lebih dari 1 bulan gaji, sementara biaya akomodasi dan kebutuhan lainnya yang berkaitan dengan kondisi di negara penempatan adalah menjadi kewajiban pengguna jasa atau majikan untuk menyediakannya. Tetapi karena BMI wajib menggunakan PPTKIS, biaya penempatan jadi sangat mahal bahkan BMI wajib pula harus tinggal di penampungan. Sampai detik ini pemerintah Indonesia sepertinya enggan memberikan angin segar kepada BMI untuk memperingan biaya penempatan yang mahal tersebut.
Kebijakan lain yang dibuat oleh pemerintah Hong Kong yang memberatkan BMI adalah peraturan wajib tinggal di rumah majikan. Akibatnya BMI terus dihadapkan pada kondisi kerja yang sangat menindas. Sebagai pekerja rumah tangga, BMI dituntut untuk selalu siaga selama 24 jam melayani sang majikan. Banyak majikan yang kemudian memperlakukan BMI secara semena-mena. BMI terjebak pada jam kerja yang panjang dan tidak mengenal istilah lembur. Inilah dampak dari kebijakan Stay In yang sangat merugikan BMI di Hong Kong.
Bahkan akibat dari kebijakan Stay In, banyak BMI yang frustasi dan memilih bunuh diri mengakhiri hidupnya disamping meninggal karena kecelakaan. Bahkan banyak kasus pelecehan seksual dialami oleh BMI dan tidak terungkap karena dianggap aib. Masalahnya pemerintah Hong Kong juga tidak meratifikasi Konvensi PBB nomor 190 tentang perlindungan buruh migran dan keluarganya serta Konvensi ILO nomor 189 tentang Kerja Layak PRT.
Apa yang harus kita lakukan agar bisa melindungi diri?Pahamilah hak-hak kita sebagai buruh atau pekerja seperti hak menolak ketika kita dipekerjakan tidak sesuai dengan Perjanjian Kerja. Gunakanlah waktu libur sebaik-baiknnya untuk mencari informasi dan jangan ragu untuk bergabung dengan organisasi buruh migran yang giat memberikan layanan konsultasi perburuhan.
Apabila menemui hal-hal yang sekiranya membahayakan keselamatan diri, segeralah melaporkan kepada pihak-pihak yang bisa dimintai tolong (polisi dan lembaga-lembaga bantuan lainnya). Usahakan mempunyai buku catatan yang bisa kita gunakan untuk menuangkan semua permasalahan yang kita hadapi untuk bahan laporan. Cobalah berkonsultasi dengan kawan-kawanmu sesama BMI di dekat tempat kerjamu.
Bersambung....
Ditulis oleh Umi Sudarto
COMMENTS