Hapuskan Perbudakan Modern sekarang juga
![]() |
Buruh Migran yang bekerja di sektor elektronik Malaysia,, Foto: Istimewa |
Hasil penelitian mengenai eksploitasi pekerja asing di Malaysia ini sebenarnya tidak mengejutkan karena hal ini pernah dipublikasikan 2 tahun lalu, kata wakil rakyat DAP, Charles Santiago.
Staf Ahli dari Parlemen Klang itu merespon laporan Verite, menegaskan bahwa memang sejak tahun 2014 ditemukan korban Kerja Paksa dalam industri sektor elektronik di Malaysia.
“Selepas 2 tahun, masalah itu belum diselesaikan,” katanya kepada FMT.
The Guardian baru-baru ini menerbitkan hasil penelitian tentang buruh migran di pabrik Samsung dan Panasonic di Malaysia yang menahan pasport buruh migran dengan dirampas dan tidak dibenarkan istirahat dan libur, karena harus membayar cicilan biaya penempatan di Malaysia.
Menurut The Guardian, Serikat Buruh di pabrik tersebut sudah melancarkan gugatan ke pihak terkait kerana mereka tidak membenarkan pasport dirampas atau membebankan bayaran terhadap penempatan buruh migran di Malaysia.
Santiago ketika mengulas pendedahan The Guardian itu berkata, pihak berkuasa hanya perlu melakukan tugas mereka dan menguatkuasakan undang-undang untuk memastikan eksploitasibisa dihapus .
“Kerajaan hanya perlu menahan mereka yang mengeksploitasi pekerja asing dan mengambil tindakan terhadap mereka berdasarkan undang-undang.
Penelitian yang dilakukan Verite, sebuah organisasi buruh internasional, menemukan bahwa pelanggaran terhadap hak-hak buruh. Puluhan bahkan diduga hingga ratusan ribu buruh dari negara-negara miskin seperti Nepal, Myanmar dan Indonesia dibayar dengan upah murah seperti Nepal, Myanmar dan Indonesia.
Sejumlah perusahaan AS, Eropa, Jepang dan Korea Selatan beroperasi di Malaysia, termasuk Samsung Electronics Co Ltd, Sony Corp, Advanced Micro Devices, Intel, dan Bosch Ltd.
Sejumlah merek besar juga menggunakan jasa pemasok seperti Flextronics, Venture Corporation, Jabil Circuit, dan JCY International untuk membuat komponen smartphone, computer dan printer.
Pendanaan dari pemerintah AS menambah kredibilitas laporan yang kelihatannya akan mengejutkan bagi banyak konsumen.
Malaysia adalah negara berpendapatan menengah dimana standar upah dilihat sebagai lebih baik dibanding sejumlah negara tetangga Asia lainnya seperti Cina, dimana praktek-praktek pelanggaran hak buruh dipertanyakan dan menjadi sasaran pengawasan beberapa tahun terakhir.
Walau Verite tidak menyebut satupun nama perusahaan dalam laporan, namun menyalahkan sistem dimana kebijakan pemerintah Malaysia dan industri telah meningkatkan wewenang perusahaan perekrut buruh murah di Malaysia dalam mengontrol upah serta syarat-syarat perburuhan lainnya.
“Hasil (penelitian) ini menunjukkan bahwa kerja paksa dalam industri elektronik Malaysia lebih dari sekedar hanya insiden terpisah, dan memang bisa dikategorikan secara luas,“ jelas hasil penelitian ini.
Modus Jeratan hutang
Sejumlah perusahaan AS yang beroperasi di Malaysia mengatakan bahwa mereka tidak bisa memberikan komentar sampai mereka melihat secara utuh laporan tersebut. Juru bicara perusahaan Intel mengatakan hampir semua dari 8.200 pembuat chip mereka adalah warga Malaysia dan mereka tidak menggunakan kontraktor (perusahaan outsourching perekrut tenaga kerja). Flextronics mengaku sadar akan isu terkait buruh migran/asing dan mereka menerapkan kebijakan ketat untuk mencegah pelanggaran.
Pejabat pengawasa perburuhan Malaysia juga sama tidak bisa segera memberikan komentar ketika diminta memberikan pernyataan atas temuan penelitian ini.
Hasil penelitian ini muncul tiga bulan setelah status Malaysia diturunkan ke Tier 3 dalam laporan Perdagangan Orang Tahunan Departemen Luar Negeri mengenai perdagangan manusia, yang dalam laporannya menyebut soal lemahnya kemajuan dalam perlindungan hak-hak sekitar empat juta Buruh Migran di Malaysia.
Laporan yang didasarkan atas wawancara atas 501 buruh, menemukan bahwa 28 persen buruh di Malaysia berada dalam situasi “kerja paksa”, di mana mereka bekerja secara terpaksa karena sejumlah faktor termasuk karena mempunyai utang akibat membayar biaya penempatan yang sanat mahal oleh perusahaan perekrut buruh migran.
Angka itu naik menjadi 32 persen bagi para buruh migran di Malaysia yang sering disesatkan karena terkait gaji serta syarat penempatan ketika mereka direkrut di negara asal, dan biasanya dikenakan biaya berlebihan yang membuat mereka terpaksa berhutang.
Verite mengatakan angka-angka itu didasarkan pada perhitungan konservatif. Mereka menemukan bahwa 73 persen buruh asing yang bekerja di Malaysia adalah merupakan korban kerja paksa atau perbudakan.
COMMENTS