Catatan Kritis Migran Day 2016
![]() |
Artikel 22 dalam Deklarasi ASEAN tentang Perlindungan dan Pemajuan Hak-hak Buruh Migran yang disahkan di Cebu, Filipina, tersebut menyatakan pentingnya mengharmonisasikan hukum perburuhan di tingkat nasional dengan standar internasional dari Internasional Labour Organisation (ILO). Standar internasional tersebut meliputi perlindungan kondisi kerja dan kehidupan, penegakan standar perburuhan, perjanjian kerja, dan lain sebagainya.
Dokumen yang mengikat itu sangat penting apalagi mengingat berbagai permasalahan masih merundung buruh migran. Tantangan masih sama mulai dari perekrutan di desa-desa, kabupaten hingga provinsi, dan penempatannya ke luar negeri rawan terjadi pelanggaran hak-hak asasi manusia. Negara membiarkannya.
Pemerintahan rejim Jokowi jelas membiarkan saja kemacetan instrumen hukum di ASEAN dan ini terkait hingga kini respon terhadap penolakan terhadap UU nomor 39 Tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan buruh migran tidak dijawab dengan pembuatan Undang - Undang baru. Suara buruh migran tak pernah didengar.
Saat ini jumlah penduduk ASEAN 650 juta. Dari jumlah tersebut 148 juta di antaranya berpendapatan kurang dari US$ 2 per hari dan 28,8 juta lagi berpendapatan kurang dari US$ 1. Situasi di ASEAN mengindikasikan bahwa tenaga kerja irregular dan tidak berdokumen didominasi buruh perempuan sebagai buruh migran yang paling rentan.
Dari sekitar 1.254.991 buruh migran yang tidak berdokumen, 1.250 ribu di antaranya berada di Malaysia. Dan dari sekitar 14 juta buruh migran yang ada di ASEAN, lebih kurang sekitar lima juta di antaranya dipasok dari Indonesia.
Menjelang peringatan hari Migran Day 2016 pada tanggal 18 Desember 2016, pemerintahan borjuasi rejim Jokowi JK terus saja pasang janji-janji yang dibungkus dengan jargon Nawacita sepertinya tidak akan merubah duka buruh migran. Rejim Jokowi-JK hanya bisa membuat "tagline" negara hadir untuk semua Buruh migran Indonesia (BMI) dan keluarganya yang selama ini terabaikan.
Rejim Jokowi JK tidak akan pernah mau menyelesaikan masalah BMI terutama tingginya angka perbudakan modern yang dialami bahkan ancaman hukuman mati. Buruh Migran Indonesia (BMI) adalah obyek penghisapan resmi negara yang dilakukan lewat pemerasan dan perampasan upah. Sementara itu kasus-kasus normatif yang dialami oleh buruh migran seperti gaji yang tidak dibayar, bekerja melebihi waktu, pelecehan seksual, perkosaan hingga kekerasan yang berujung pada kematian juga terus berlangsung. Tragis!
Dalam Kabinet Kerja Pemerintahan Jokowi-JK setidaknya ada 3 institusi yang memiliki mandat untuk perlindungan buruh migran yaitu Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Luar Negeri dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia.
Kementerian-kementerian dalam Kabinet kerja Jokowi JK malah melanjutkan kebijakan-kebijakan kontradiktif dari menteri sebelumnya mengenai RoadMap Penghapusan PRT Migran. Dalam perspektif hak asasi manusia, argumen pelarangan PRT migran ke luar negeri sebagai langkah prakmatis rejim malas kerja. Dalam prakteknya, langkah moratorium dan penghentian permanen hanya menghasilkan potensi pembesaran praktek perdagangan manusia atasnama pengiriman massal buruh ke luar negeri. Ironisnya, pada era pemerintahan saat ini, moratorium penempatan buruh migran menjadi kebijakan permanen yang dilegitimasi dengan Permenaker No. 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke 19 negara tujuan di Timur Tengah yang berlaku efektif sejak Juli 2015. Kebijakan ini bisa dipastikan akan meriplikasi kegagalan moratorium-moratorium sebelumnya.
Langkah menghadirkan negara dalam perlindungan buruh migran hanyalah isapan jempol belaka. Kinerja Kementerian luar negeri beserta jajaran perwakilan RI di luar negeri masih bekerja sebatas pelayanan normatif. Bahkan bekerja dengan cara pandang yang diskriminatif terhadap buruh migran yang malah melihat masalah yang dihadapi buruh Indonesia di luar negeri adalah “beban” yang tak harus mereka tanggung. KBRI Kulalumpur Malaysia, citizen services hanyalah jargon, pelayanan dokumen keimigrasian semakin birokratis. Bahkan Perwakilan RI melegitimasi beropersinya monopoli swasta, yakni IMAN Resources dalam pengurusan pelayanan dokumen bagi buruh migran tidak berdokumen.
Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) masih terus bermain dalam "Arus-Jebak" duplikasi kewenangan Penempatan dan Perlindungan TKI. Tuntutan penurunan biaya penempatan, Kenaikan upah, pengawasan PPTKIS jahat, dan belum melihat Serikat Buruh sebagai organisasi resmi perwakilan buruh migran dan anggota keluarganya bukanlah prioritas kerja.
Hingga dua tahun berjalan, dipastikan bahwa pemerintahan Jokowi-JK tidak akan mau mengimplementasikan Konvensi Internasional Tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya (yang telah diratifikasi dengan UU No. 6/2012) serta tidak akan mau meratifikasi Konvensi ILO 189/2011 tentang Kerja Layak Bagi PRT.
Teruslah bergerak, lipatgandakan terus perlawanan.
Catatan menjelang Migran Day 2016
Dari sekitar 1.254.991 buruh migran yang tidak berdokumen, 1.250 ribu di antaranya berada di Malaysia. Dan dari sekitar 14 juta buruh migran yang ada di ASEAN, lebih kurang sekitar lima juta di antaranya dipasok dari Indonesia.
Menjelang peringatan hari Migran Day 2016 pada tanggal 18 Desember 2016, pemerintahan borjuasi rejim Jokowi JK terus saja pasang janji-janji yang dibungkus dengan jargon Nawacita sepertinya tidak akan merubah duka buruh migran. Rejim Jokowi-JK hanya bisa membuat "tagline" negara hadir untuk semua Buruh migran Indonesia (BMI) dan keluarganya yang selama ini terabaikan.
Rejim Jokowi JK tidak akan pernah mau menyelesaikan masalah BMI terutama tingginya angka perbudakan modern yang dialami bahkan ancaman hukuman mati. Buruh Migran Indonesia (BMI) adalah obyek penghisapan resmi negara yang dilakukan lewat pemerasan dan perampasan upah. Sementara itu kasus-kasus normatif yang dialami oleh buruh migran seperti gaji yang tidak dibayar, bekerja melebihi waktu, pelecehan seksual, perkosaan hingga kekerasan yang berujung pada kematian juga terus berlangsung. Tragis!
Dalam Kabinet Kerja Pemerintahan Jokowi-JK setidaknya ada 3 institusi yang memiliki mandat untuk perlindungan buruh migran yaitu Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Luar Negeri dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia.
Kementerian-kementerian dalam Kabinet kerja Jokowi JK malah melanjutkan kebijakan-kebijakan kontradiktif dari menteri sebelumnya mengenai RoadMap Penghapusan PRT Migran. Dalam perspektif hak asasi manusia, argumen pelarangan PRT migran ke luar negeri sebagai langkah prakmatis rejim malas kerja. Dalam prakteknya, langkah moratorium dan penghentian permanen hanya menghasilkan potensi pembesaran praktek perdagangan manusia atasnama pengiriman massal buruh ke luar negeri. Ironisnya, pada era pemerintahan saat ini, moratorium penempatan buruh migran menjadi kebijakan permanen yang dilegitimasi dengan Permenaker No. 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke 19 negara tujuan di Timur Tengah yang berlaku efektif sejak Juli 2015. Kebijakan ini bisa dipastikan akan meriplikasi kegagalan moratorium-moratorium sebelumnya.
Langkah menghadirkan negara dalam perlindungan buruh migran hanyalah isapan jempol belaka. Kinerja Kementerian luar negeri beserta jajaran perwakilan RI di luar negeri masih bekerja sebatas pelayanan normatif. Bahkan bekerja dengan cara pandang yang diskriminatif terhadap buruh migran yang malah melihat masalah yang dihadapi buruh Indonesia di luar negeri adalah “beban” yang tak harus mereka tanggung. KBRI Kulalumpur Malaysia, citizen services hanyalah jargon, pelayanan dokumen keimigrasian semakin birokratis. Bahkan Perwakilan RI melegitimasi beropersinya monopoli swasta, yakni IMAN Resources dalam pengurusan pelayanan dokumen bagi buruh migran tidak berdokumen.
Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) masih terus bermain dalam "Arus-Jebak" duplikasi kewenangan Penempatan dan Perlindungan TKI. Tuntutan penurunan biaya penempatan, Kenaikan upah, pengawasan PPTKIS jahat, dan belum melihat Serikat Buruh sebagai organisasi resmi perwakilan buruh migran dan anggota keluarganya bukanlah prioritas kerja.
Hingga dua tahun berjalan, dipastikan bahwa pemerintahan Jokowi-JK tidak akan mau mengimplementasikan Konvensi Internasional Tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya (yang telah diratifikasi dengan UU No. 6/2012) serta tidak akan mau meratifikasi Konvensi ILO 189/2011 tentang Kerja Layak Bagi PRT.
Teruslah bergerak, lipatgandakan terus perlawanan.
Catatan menjelang Migran Day 2016
COMMENTS