Seri Pendidikan Publik tentang Demokrasi, menyoroti korban UU ITE
![]() |
Kasus-kasus diatas diakibatkan ketidakjelasan pasal UU ITE terkait pasal pencemaran nama baik yang menjadi biang pengekangan kebebasan berekspresi saat menggunakan media sosial yang berbasis teknologi informasi dan transaksi elektronik.
Gema Demokrasi (Gedor) lantas membuat diskusi publik dan menyatakan bahwa proses revisi UU ITE adalah ancaman bagi kebebasan berekspresi di Indonesia saat ini. Menurut Asep, salah seorang penggiat Gedor, tercatat 200 orang sudah dikriminalkan dengan menggunakan pasal-pasal UU ITE.
Saat ini, UU ITE sedang dalam proses amandemen di Komisi I DPR RI. Meski demikian ternyata amandemen yang dilakukan pemerintah Jokowi dan Parlemen belum juga diselesaikan secara komprehensif dan menjauhkannya dari substansi. Karena penuh kepentingan politik, menurut Asep, yang terjadi adalah bertambahnya daftar korban kriminalisasi dari UU 'Budaya Modern' itu.
Gedor menyoroti UU ITE karena menganggap membatasi kebebasan berekspresi dan mengkriminalkan banyak aktifis, seniman dan pelaku budaya. Dari diskusi ini Gedor berharap dapat melibatkan peran aktif semua rakyat mengawal proses amandemen atau revisi UU ITE yang sedang berlangsung saat ini.
Diskusi Gedor yang dimoderatori Blandina Lintang menghadirkan Radar Panca Dahana, pegiat seni budaya, Wahyudi Djafar, peneliti ELSAM, Rocky Gerung, pakar filsafat politik UI dan Saiful Anam seorang buruh yang menjadi korban kriminalisasi UU ITE.
Rocky Gerung menyatakan sensor berlebih yang dipaksakan sebagai budaya 'modern' itu bahkan mengakibatkan freedom atau kebebasan tidak dapat diekspresikan. Rocky bahkan mengecam sistem politik yang memaksakan media massa maupun pers untuk bersopan santun, namun hal itu menjadi sebuah dilema dan persoalan bagi dunia pers dan pengguna media sosial.
Diskusi Gedor yang dimoderatori Blandina Lintang menghadirkan Radar Panca Dahana, pegiat seni budaya, Wahyudi Djafar, peneliti ELSAM, Rocky Gerung, pakar filsafat politik UI dan Saiful Anam seorang buruh yang menjadi korban kriminalisasi UU ITE.
Rocky Gerung menyatakan sensor berlebih yang dipaksakan sebagai budaya 'modern' itu bahkan mengakibatkan freedom atau kebebasan tidak dapat diekspresikan. Rocky bahkan mengecam sistem politik yang memaksakan media massa maupun pers untuk bersopan santun, namun hal itu menjadi sebuah dilema dan persoalan bagi dunia pers dan pengguna media sosial.
Rocky mencatat banyak aktivis yang tersandung UU ITE, bahkan, di Jakarta sekitar 50 orang aktivis dikriminalkan. Setelah menjelaskan berbagai isu terkait sosiologi dan tekologi informasi dalam konteks Indonesia, Rocky berpesan bahwa seharusnya UU ITE bisa menghasilkan “humanity” baru, bukan malah yang mensensor humanity. Justru budaya 'Cyberspace' yang berkembang saat ini sangat membutuhkan masyarakat yang sangat demokratis.
Sementara itu, peneliti ELSAM, Wahyudi Djafar, mengatakan ekspresi publik semakin terkekang di saat ada perluasan pengaruh 'Cyber Space'. Terkait kebebasan berekspresi Wahyudi mengingatkan bahwa hal ini bukan berarti tanpa batas, bahkan sebenarnya semakin dibatasi.
Sementara itu, peneliti ELSAM, Wahyudi Djafar, mengatakan ekspresi publik semakin terkekang di saat ada perluasan pengaruh 'Cyber Space'. Terkait kebebasan berekspresi Wahyudi mengingatkan bahwa hal ini bukan berarti tanpa batas, bahkan sebenarnya semakin dibatasi.
Pembatasan-pembatasan dilakukan dalam beberapa sektor, baik itu dalam masalah keamanan dan kenegaraan. Di era digital medternet adalah media baru berdemokrasi, sehingga semestinya pemerintah tidak bisa secara berlebihan membatasi peran publik di media sosial.
Wahyudi mengatakan lagi, di negara-negara maju, UU terkait ITE justru mendapat penolakan kuat dari masyarakat, seperti di AS dan Eropa. Kontradiksi di negara-negara berkembang justru menciptakan banyak aturan yang mengakibatkan pengekangan terhadap aktivis di media sosial.
Realitasnya, dengan adanya ancaman yang begitu tinggi, UU ITE dianggap sebagai instrumen represif yang digunakan berbagai pihak untuk memenjarakan orang, paling tidak menangkap orang. Trend penangkapan orang akibat UU ITE dari tahun ke tahun semakin meningkat.
Wahyudi menganggap RUU ITE menyebabkan demokrasi mengalami kemunduran dan gelap gulita. Penegak hukum tanpa pembuktian pasti menyeret banyak orang dengan tuduhan bersalah dan layak dipidanakan. Terkait pasal 27 ayat 3 adalah pasal multi tafsir dan bisa dijadikan alat 'balas dendam' bagi sekelompok orang dan mengerucut pada pemberangusan kebebasan berekspresi bagi rakyat.
Saiful Anam, buruh dari Serikat Buruh SEBUMI Nambu menceritakan pengalamannya terkait dampak UU ITE terhadap gerakan buruh. UU ITE yang berlaku saat ini tidak memberikan perlindungan terhadap setiap individu dalam berekspresi. Kasus-kasus yang terjadi di media sosial menunjukkan bahwa buruh kerap menjadi sasaran korban ketidakadilan hukum. Dari sini tampak bahwa perlindungan terhadap buruh masih lemah.
Saiful Anam, buruh dari Serikat Buruh SEBUMI Nambu menceritakan pengalamannya terkait dampak UU ITE terhadap gerakan buruh. UU ITE yang berlaku saat ini tidak memberikan perlindungan terhadap setiap individu dalam berekspresi. Kasus-kasus yang terjadi di media sosial menunjukkan bahwa buruh kerap menjadi sasaran korban ketidakadilan hukum. Dari sini tampak bahwa perlindungan terhadap buruh masih lemah.
Lebih lanjut, Anam menjelaskan, dampak dari UU ITE terhadap buruh adalah semakin minimnya kelompok buruh yang dapat mengakses media sosial, serta pengurangan upah buruh. Dengan kata lain, buruh pabrik dijauhkan dari teknologi informasi dan dilarang kritis sehingga muncul ketakutan dari para buruh. Sebagai perwakilan buruh, Saiful Anam pun menyarankan agar UU ITE dicabut segera karena menghambat demokrasi.
Radar Panca Dahana, mengungkapkan problem peradaban dunia saat ini bermuara pada tiga hal yaitu, konflik antara budaya, agama, dan pengetahuan. Pertikaian antara ketiga poros ini telah membentuk peradaban manusia yang sampai saat ini tidak pernah terselesaikan.
Radar Panca Dahana, mengungkapkan problem peradaban dunia saat ini bermuara pada tiga hal yaitu, konflik antara budaya, agama, dan pengetahuan. Pertikaian antara ketiga poros ini telah membentuk peradaban manusia yang sampai saat ini tidak pernah terselesaikan.
Lebih lanjut Radar mengatakan, manusia hidup dalam kondisi simbolik dan hiperbolisme, terkekang dalam hiperbolisme. Ungkapan-ungkapan penistaan, penghinaan tidak lepas dari pertentangan dan perdebatan antara tiga poros itu, berbagai pertentangan kerap terjadi sepanjang sejarahnya.
Terkait dengan UU ITE, menurut Radar, PBB mencatat bahwa sekitar 33 negara masih menggunakan UU tentang penghujatan dan penghinaan, 22 negara masih menggunakan UU “highspace” dan pada tahun 2014, negara-negara seperti Yunani, Jerman, Italia, India, Rusia dan AS masih menggunakan UU ITE.
Meski sejumlah negara sudah menerapkan UU tersebut, namun di Indonesia tidak semua pasal dapat diimplementasikan. karena UU yang ada walaupun sudah diatur PBB tidak berlaku universal, dan ini menjadi perdebatan panjang.
Menurut Radar, sebenarnya kebebasan ekspresi tidak ada yang mutlak dan pada titik tertentu ada batasnya. Batas itu, dalam konteks Indonesia terletak dalam visi memelihara harmoni, yaitu satu tatanan hubungan sosial masyarakat dan kebudayaan yang menciptakan kebersamaan dan merupakan inti dari masyarakat kita yang diikat oleh kebersamaan.
Bagi Radar, sebagai sebuah negara, kita harus mempunyai kearifan dan tidak boleh mementingkan kepentingan individual dan kelompok tertentu, terutama dengan adanya media sosial.
Sejak dahulu, kebudayaan berlangsung melalui kesepakatan dan konsensus hingga tercipta keharmonisan yang disepakati bersama baik dalam moralitas, etika maupun estetika. Dengan demikian kita sampai pada suatu tatanan sebagai sebuah bangsa besar.
Radar menggarisbawahi, kebebasan berekspresi akan berakhir seiring dengan hancurnya otoritas hukum yang dibuktikan dengan tidak ada lagi kepercayaan rakyat kepada pemerintah. Selanjutnya rakyat akan mulai berani menghina pemimpinnya. Sudah seharusnya kita tidak terjebak dalam hiperbolisme yang sempit. Perjuangan sesungguhnya adalah melawan kekuatan-kekuatan besar yang menghalangi demokrasi dan kebebasan berekspresi.
Dari peserta diskusi, Danial Indrakusumah memberi catatan bahwa bahasa 'kasar' kelas bawah lebih banyak jumlah perbendaharaannya daripada bahasa kelas feodal dan raja-raja. Aksi 'diam' rakyat jelata ke istana keraton salah kalau dinilai karena rakyat jelatah 'bodoh' karena tidak bisa berkata-kata. Tapi karena tidak adanya kata-kata yang bisa disampaikan oleh rakyat miskin untuk menyampaikan tuntutannyalah yang menyebabkan mereka diam ketika melakukan penolakan atas kebijakaan para tuan tanah dan raja-raja. Miskinnya perbendaharaan kata 'halus' untuk menyampaikan protes atau penolakan inilah yang menjadikan penyebab rakyat dianggap bodoh bahkan dikriminalisasi.
COMMENTS