Kondisi Perbudakan PRT di Hong Kong
![]() |
PRT yang bekerja tampa pilihan, Foto: Ramses D Aruan |
Bahkan satu dari enam pekerja rumah tangga migran di Hong Kong adalah korban kondisi kerja paksa. Banyak yang menjadi korban perdagangan manusia, kata Justice Centre lagi dalam laporan terbarunya seperti yang dirilis di media internasional AFP.
"Hong Kong harus berbenah; pemerintah tidak bisa lagi hanya menyembunyikan masalah ini di bawah karpet," tulis Justice Centre dalam laporan terbarunya.
Perlakuan yang dihadapi para pembantu rumah tangga di Hongkong sempat menjadi berita utama internasional tahun lalu, ketika seorang ibu Hong Kong dijatuhi hukuman enam tahun penjara karena berulang kali melecehkan dan menyerang pembantunya.
Pasangan lain dipenjara tahun 2013 karena menyiksa pembantu mereka. Mereka antara lain mengikat pembantunya di kursi, ketika mereka pergi berlibut.
Justice Centre menyebutkan, pemerintah Hong Kong sering memperlakukan kasus seperti ini sebagai insiden terisolasi. Protes aktivis Serikat Buruh dan aktifis oragnisasi masyrakat sipil lainnya yakin, eksploitasi PRT terjadi secara luas dan masif.
Sepertiga dari rumah tangga yang punya anak di Hong Kong mempekerjakan PRT Migran. Mayoritas PRT Migran berasal dari Indonesia dan Filipina.
Studi terbaru Justice Centre antara lain menemukan bahwa para PRT di Hong Kong rata-rata bekerja lebih dari 70 jam seminggu, dan hampir seluruhnya dibayar murah di banding pekerja lokal dengan upah bulanan sebesar HK $ 4.210 (US$ 543).
Studi ini meneliti lebih dari 1.000 PRT yang berasal dari delapan negara. Yang disoroti adalah tentang perekrutan, pembayaran upah, kondisi kerja mereka dan kesehatan.
Laporan yang berjudul "Comign Clean itu menyebutkan, lebih dari 50.000 PRT Migran diperkirakan bekerja dalam kondisi 'Perbudakan', bahkan ada 14 persen menjadi korban Perdagangan Manusia.
Para penyusun laporan mengatakan, bertentangan dengan apa yang dipikirkan banyak orang, kondisi kerja paksa dan praktek perdagangan manusia "tidak selalu berlangsung dengan tangan terbelnggu ".
Contohnya kasus Indah, seorang PRT asal Indonesia, yang direkrut lewat jalur resmi dan menerima upah yang berbeda dengan buruh atau pekerja lokal Hong Kong. Indah terpaksa tetap harus bekerja dalam kondisi 'kerja paksa'.
Indah harus bekerja 20 jam sehari. Majikannya sering membangunkan dia pada malam hari untuk bekerja. Mereka juga memaksa dia bekerja untuk orang lain dan pada hari liburnya. Majikan juga menyimpan paspor Indah.
PRT Migran sangat rentan terhadap kerja paksa karena sifat pekerjaan mereka tidak punya batas jelas antara waktu kerja dan waktu luang. Mereka juga hidup terisolasi dari dunia luar, tulis laporan itu.
Justice Centre mendesak pemerintah Hong Kong untuk membuat aturan yang jelas tentang jam kerja. Kritik ini juga terus diteriakan para aktifis yang ada di Hong Kong terkait persyaratan bahwa PRT harus tinggal bersama majikannya. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab PRT terjebak dalam kerja paksa yang menahun.
Justice Centre juga menuntut agar aturan yang mewajibkan buruh migran untuk segera meninggalkan Hong Kong dua minggu setelah kontrak mereka berakhir harus dihapuskan. Karena aturan ini membuat kebanyakan PRT takut melaporkan penyalahgunaan, sebab itu berarti mereka harus segera kembali ke negara asalnya.
Justice Centre juga menyerukan tindakan tegas dan sanksi lebih berat atas agen-agen pengirim tenaga kerja, yang memasang biaya penempatan yang terlalu tinggi kepada pekerja migran yang dikirim ke luar negeri, sehingga banyak pekerja migran yang jatuh dalam jebakan utang besar.
COMMENTS